STUDI PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
DI KECAMATAN RABA KOTA BIMA PROVINSI NTB
BAB I
PENDAHULUAN
Strategi pembangunan yang terlalu sentralistik merupakan contoh ketidakpastian birokrasi masa lalu terhadap variasi pembangunan masyarakat lokal dan kurang tanggap terhadap kepentingan dan kebutuhan akan masyarakat di tingkat desa/kelurahan. Hal ini menyebabkan partisipasi dan spirit masyarakat untuk mengembangkan potensi lokal tidak dapat berkembang dengan wajar.
Partisipasi memang telah lama menjadi penghias bibir para penjabat dari tingkat pusat sampai tingkat desa bahwa pembangunan dan kelestarian hasil pembangunan tidak akan berhasil bila tidak didukung dengan “partisipasi masyarakat”. Untuk tercapainya keberhasilan pembangunan masyarakat desa maka segala program perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi pembangunan harus melibatkan masyarakat, karena merekalah yang mengetahui permasalahan dan kebutuhan dalam rangka membangun wilayahnya sebab merekalah nantinya yang akan memanfaatkan dan menilai tentang berhasil atau tidaknya pembangunan di wilayah mereka.
Masyarakat akan lebih mempercayai program kegiatan pembangunan apabila mereka dilibatkan dalam persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program kegiatan tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program kegiatan tersebut. Mendorong partisipasi umum karena akan timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan.
Proses perencanaan dimulai dengan informasi tentang ketersediaan sumber daya dan arah pembangunan nasional, sehingga perencanaan bertujuan untuk menyusun hubungan optimal antara input, proses, dan output/outcomes atau dapat dikatakan sesuai dengan kebutuhan, dinamika reformasi dan pemerintahan yang lebih demokratis dan terbuka, sehingga masyarakatlah yang paling tahu apa yang dibutuhkannya. Jadi partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan sangat penting karena dapat menumbuhkan sikap memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap pembangunan Sejalan dengan waktu, upaya memikirkan ulang format proses politik yang lebih memberi ruang kepada rakyat mulai tampak, hal ini ditandai dengan diterapkan maka hal tersebut juga membawa dampak positif dalam sistem pemerintahan di Indonesia, salah satu wujudnya adalah dengan diterapkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah” dan didukung dengan Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2001 Tentang “Pedoman umum pengaturan mengenai desa” serta keputusan Menteri Dalam Negeri No. 48 Tahun 2002 tentang “peraturan desa dan keputusan kepala desa”. Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri tersebut secara umum mengamanatkan bahwa pembangunan daerah dan desa/keluarahan harus dikelola dengan memperhatikan prakarsa dan aspirasi masyarakat dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, sekaligus dengan memelihara kehidupan berdemokrasi di tingkat desa dalam pelaksanaannya kemudian Undang-undang tersebut direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan untuk peran partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbit Surat Edaran Bersama antara Kepala BAPPENAS dengan Medagri No. 0259/M. PPN/I/2005 /050/1 66/sj tanggal 20 Januari 2005 perihal petunjuk teknis penyelenggaraan musrenbang tahun 2005 dari tingkat desa/kelurahan hingga Kabupaten/Kota. Untuk membangun kehidupan bernegara dengan tingkat keragaman masyarakat dan karakteristik geografis yang unik, pemerintah telah menyusun Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terpadu, menyeluruh, sistematik, yang tanggap terhadap perkembangan jaman, yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa SPPN adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggaraan negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Kemudian dalam pasal 2 dinyatakan pula bahwa tujuan SPPN adalah:
1. Mendukung kondisi antar pelaku pembangunan.
2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah.
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antar perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Banyak fenomena menarik dalam proses perencanaan pembangunan yang dilaksanakan di Kecamatan Raba Kota Bima, terutama berkaitan dengan langkah ke 3 pada tahap pertama proses perencanaan pembangunan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2004 yang berbunyi: Melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-¬masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Diawali dengan penyelenggaraan musrenbang tingkat desa/kelurahan, musrenbang tingkat kecamatan, musrenbang tingkat kab/kota. Hal menarik tersebut antara lain: mekanisme perencanaan pembangunan dari bawah yang dilaksanakan mulai musrenbang desa/kelurahan sampai kecamatan belum melibatkan masyarakat untuk memutuskan prioritas kegiatan, padahal untuk menciptakan perencanaan pembangunan yang tepat waktu, tepat sasaran, berdaya guna dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan karena masyarakatlah yang mengetahui permasalahan yang dihadapi dan kebutuhan yang mereka kehendaki, sehingga keikutsertaan masyarakat dapat mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Ada kecenderungan bahwa usulan yang diajukan dalam musrenbang kecamatan merupakan rumusan elite desa/kelurahan, sehingga partisipasi masyarakat yang sesungguhnya masih jauh dari harapan. Fenomena ini dapat dilihat berdasarkan hasil observasi penulis ketika menghadiri kegiatan musbangdes di kelurahan Rite Kecamatan Raba pada tanggal 25 Oktober 2013, kegiatan Musbangdes dihadiri oleh perwakilan Rukun Warga/RW (ada 5 RW di Kelurahan Rite), dan beberapa orang perwakilan masyarakat. Sebelum dilaksanakan musbangdes terlebih dahulu diselenggarakan musbangdus yaitu musyawarah pembangunan dusun. Kelurahan Rite terbagi dalam 10 RT. Masing-masing RT menyerahkan daftar identifikasi kebutuhan masyarakat ke kantor kelurahan sebelum penyelenggaraan musbangdes. Pada tahap musbangdes, aparat desa/kelurahan membacakan daftar identifikasi kebutuhan dari masing-masing RT, namun tidak mendiskusikan kebutuhan mana yang dijadikan kegiatan prioritas yang akan diusulkan pada musrenbang tahapan selanjutnya. Pihak kelurahanlah yang merumuskan daftar kegiatan prioritas tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut, pemerintah kelurahan masih mendominasi perumusan kegiatan prioritas yang akan diusulkan dalam musrenbang selanjutnya.
2. Identifikasi dan Perumusan Masalah
2.1. Identifikasi Masalah
- Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di Kecamatan Raba Kota Bima rendah.
- Sosialisasi oleh aparat pemerintah daerah belum menyentuh masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam perencanaan pembangunan daerah.
- Implementasi Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional masih belum dipahami oleh beberapa pihak yang terkait dalam proses perencanaan pembangunan di daerah.
- Kesiapan perangkat organisasi, sumber daya aparatur di daerah serta peningkatan dan pemberdayaan stakeholders belum optimal.
2.2. Perumusan Masalah
- Belum optimalnya proses perencanaan pembangunan di Kecamatan Raba Kota Bima.
- Rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Kecamatan Raba Kota Bima.
3. Tujuan Penelitian
- Mendeskripsikan dan menganalisis proses perencanaan pembangunan di Kecamatan Raba Kota Bima.
- Mendeskripsikan dan menganalisis partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di Raba Kota Bima.
4. Kegunaan Penelitian
- Memberikan masukan kepada lembaga terkait agar lebih mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah Kota Bima.
- Sebagai bahan untuk menambah khasanah pengetahuan dalam perencanaan pembangunan daerah dan bahan perbandingan bagi penelitian sejenis bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan
Pembangunan adalah pergeseran dari suatu kondisi nasional yang satu menuju kondisi nasional yang lain, yang dipandang lebih baik dan lebih berharga (Katz dalam Tjokrowinoto 1995). Disamping itu pembangunan juga merupakan proses multi dimensional yang menyangkut perubahan-perubahan yang penting dalam suatu struktur, sistem sosial ekonomi, sikap masyarakat dan lembaga¬lembaga nasional dan akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengangguran kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan absolut (Todaro, 1977). Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan berarti proses menuju perubahan¬-perubahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri.
Dalam pengertian pembangunan para ahli memberikan berbagai macam definisi tentang pembangunan, namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Siagian (1994) memberikan pengertian tentang bagaimana pembangunan sebagai “suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Nation building)”. Adapun Ginanjar Kartasasmita (1997;9) memberikan pengertian yang lebih sederhana tentang pembangunan yaitu: “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Upaya untuk memahami makna dan strategi pembangunan yang tepat telah melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu akibatnya konsep
pembangunan menjadi multi interpretable namun disamping itu pembangunan harus dipahami sebagai proses multi dimensional dan mencakup perubahan orientasi dan sistem organisasi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Todaro melihat pembangunan sebagai: “proses yang multi dimensional dari struktur masyarakat, perilaku, kelembagaan, perkembangan ekonomi, pengurangan kepincangan, dan penghapusan kemiskinan absolut dari masyarakat”. Tiga nilai yang menjadi tujuan pembangunan adalah: (1) Live sustainance atau terpenuhinya kebutuhan dasar manusia berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, dan perlindungan dari ancaman, (2) Self esteem, kemampuan untuk menjadi diri sendiri, (3) Freedom for survitude, yaitu kemampuan untuk memilih secara bebas.
Meskipun pengertian pembangunan amat bervariasi namun menurut
Esman (Tjokrowinoto 1999:91) secara umum pembangunan dapat diartikan
sebagai proses perubahan dari kondisi nasional yang satu ke kondisi nasional yang dipandang lebih baik atau kemajuan yang terus menerus menuju perbaikan kehidupan manusia yang mapan. Pembangunan masyarakat desa menurut Tjokrowinoto (1999:35) dapat dilakukan berdasarkan 3 azas, diantaranya: (1) azas pembangunan integral, (2) azas kekuatan sendiri, (3) azas pemufakatan bersama. Azas pembangunan integral ialah pembangunan yang seimbang dari semua segi masyarakat desa. Azas kekuatan sendiri adalah tiap-tiap usaha pertama-tama harus berdasarkan kekuatan sendiri, azas pemufakatan bersama ialah pembangunan harus dilaksanakan secara benar untuk menjadi kebutuhan masyarakat desa dan putusan untuk melaksanakan proyek bukan atas prioritas atasan tetapi merupakan keputusan bersama anggota masyarakat desa. Disamping itu strategi desa yang telah dikembangkan antara lain pendekatan dari atas (top down), pendekatan dari bawah (bottom up) dan pendekatan pengelolaan mandiri oleh masyarakat desa (community base management). Pendekatan ‘top down’ dilaksanakan berdasarkan jalan pikiran bahwa masyarakat desa adalah pihak yang bodoh dan belum dapat memikirkan serta mengerjakan apa yang baik untuk mereka. Jadi semua segi kehidupan dirancang dan diturunkan dari pemerintahan. Pendekatan ‘bottom up’ dilaksanakan dengan asumsi bahwa masyarakat desa telah memiliki kemampuan untuk memikirkan dan mengerjakan kebutuhannya sendiri dan pemerintah hanya turut serta dalam sistem administrasinya. Pendekatan ‘community base management’ sebenarnya bukan gagasan baru namun muncul dan digali dari masyarakat setempat yang diangkat dari praktek masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan ekonomi bersama dalam desa tanpa campur tangan pemerintah.
Pembangunan memerlukan perencanaan karena kebutuhan pembangunan lebih besar daripada sumber daya yang tersedia. Melalui perencanaan ingin dirumuskan kegiatan pembangunan yang secara efisien dan efektif dapat memberi hasil yang optimal dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada.
2.2. Perencanaan
Secara umum perencanaan berasal dari kata rencana, yang berarti rancangan atau rangka sesuatu yang akan dikerjakan. Menurut Waterson (dalam Diana Conyers, 1994: 4) pada hakekatnya perencanaan adalah usaha yang secara sadar terorganisasi dan terus menerus dilakukan guna memilih alternatif terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan J Nehru (dalam Diana Conyers, 1994: 4) menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu bentuk latihan intelejensia guna mengolah fakta serta situasi sebagaimana adanya dan mencari jalan keluar guna memecahkan masalah. Kemudian Beenhakker (dalam Diana Conyers, 1994: 4) menyatakan bahwa perencanaan adalah seni untuk melakukan sesuatu yang akan datang agar dapat terlaksanakan. Definisi lain diungkapkan Kunarjo (2002: 14) yang menyebutkan bahwa secara umum perencanaan merupakan proses penyiapan seperngkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu.
Dari beberapa pengertian tentang perencanaan, penulis mensintesakan bahwa perencanaan merupakan langkah awal dalam melaksanakan suatu tujuan tertentu yang menyangkut pengambilan keputusan atau pilihan mengenai bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada semaksimal mungkin guna mencapai tujuan-tujuan tertentu di masa depan.
Definisi perencanaan yang lain dikemukakan oleh Sitanggang, mengemukakan bahwa perencanaan diartikan sebagai alat atau unsur dalam upaya menggerakan dan mengarahkan organisasi dan bagian-bagiannya mencapai tujuan yang ditentukan. Sedangkan Bintoro Tjokroamidjojo (1998:12) berpendapat bahwa perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (Maximum Output) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Beliau juga mengungkapkan bahwa perencanaan adalah penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilama dan oleh siapa.
Definisi lain dikemukakan oleh para ahli manajemen dalam buku yang ditulis oleh Malayu S.P. Hasibuan (1988) diantaranya: George R Terry mengatakan perencanaan adalah upaya untuk mememilih dan menghubungkan fakta-fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-sumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita menyatakan bahwa pada dasarnya perencanaan sebagai fungsi manajemen adalah proses pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Diana Conyers dan Peter Hill (LAN-DSE, 1999) mengemukakan bahwa perencanaan adalah suatu proses yang terus menerus melibatkan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan penggunaan sumber daya yang ada dengan sasaran untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masa yang akan datang. T Hani Handoko mengemukakan pengertian perencanaan adalah pemilihan sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang harus dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa. Perencanaan yang baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi di waktu yang akan datang dalam mana perencanaan dan kegiatan yang diputuskan akan dilaksanakan, serta periode sekarang pada saat rencana dibuat. Dari beberapa pengertian tersebut maka dapat diuraikan beberapa komponen penting dalam perencanaan yakni tujuan (apa yang hendak dicapai), kegiatan (tindakan-tindakan untuk merealisasi tujuan), dan waktu (kapan, bilamana kegiatan tersebut hendak dilakukan).
Menurut Koontz dan O’Donnel, perencanaan adalah fungsi seorang manajer yang berhubungan dengan memilih tujuan-tujuan, kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur, program-program dari alternatif yang ada. Sedangkan Louis A Allen mengemukakan bahwa perencanaan adalah menentukan serangkaian tindakan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
2.3. Perencanaan Pembangunan
Pengertian perencanaan pembangunan dapat dilihat berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya yaitu: perencanaan dan pembangunan. Perencanaan menurut Terry (dalam Hasibuan, 1993:95) adalah memilih dan menghubungkan fakta dan membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenai masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Pengertian pembangunan menurut Siagian adalah suatu usulan atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa.
Perencanaan menurut Lembaga Administrasi Negara (dalam Riyadi dan Bratakusumah, 2004: 4) berarti memilih prioritas dan cara atau alternatif untuk mencapai tujuan, pengalokasian sumber daya, bertujuan mencapai tujuan, berhubungan dengan masa depan, serta kegiatan yang terus menerus. Pendapat ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Conyers (1981: 3) bahwa perencanaan adalah sebagai: “suatu proses yang terus menerus yang melibatkan keputusan-keputusan, alternatif-alternatif atau pilihan, mengenai cara¬-cara alternatif penggunaan sumber daya-sumber daya, dengan tujuan menghasilkan sasaran-sasaran spesifik untuk waktu yang akan datang”.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi perencanaan adalah sebagai alat untuk memilih, merencanakan untuk masa yang akan datang, cara untuk mengalokasikan sumber daya serta alat untuk mencapai sasaran, dan apabila dikaitkan dengan pembangunan yang hasilnya diharapkan dapat menjawab semua permasalahan, memenuhi kebutuhan masyarakat, berdaya guna dan berhasil guna, serta mencapai tujuan yang diinginkan, maka perencanaan itu sangat diperlukan agar pembangunan yang dilaksanakan lebih terarah, efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya dan dana. Sedangkan pembangunan dalam perencanaan itu sendiri merupakan suatu proses perubahan kearah yang lebih baik melalui apa yang dilakukan secara terencana.
Menurut Diana Conyers (1994: 5) setiap bentuk perencanaan pasti mempunyai implikasi atau aspek sosial, karenanya dapatlah dianggap bahwa perencanaan sosial harus merupakan bentuk arahan bagi seluruh rangkaian kegiatan perencanaan itu sendiri. Perencanaan jenis ini biasanya dipakai pemerintah atau badan lainnya guna mengatasi masalah perubahan ekonomi dan masalah sosial pada umumnya. Perencanaan ini dikenal dengan perencanaan pembangunan.
Lebih lanjut Riyadi dan Bratakusumah (2004: 6) mengemukakan bahwa perencanaan pembangunan merupakan suatu tahapan awal proses pembangunan. Sebagai tahapan awal, maka perencanaan pembangunan merupakan pedoman/acuan dasar bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan. Karena itu perencanaan pembangunan hendaknya bersifat implementatif (dapat melaksanakan) dan aplikatif (dapat diterapkan), serta perlu disusun dalam suatu perencanaan strategis dalam arti tidak terlalu mengatur, penting, mendesak dan mapu menyentuh kehidupan masyarakat luas, sekaligus mampu mengantisipasi tuntutan perubahan baik internal maupun eksternal, serta disusun berdasarkan fakta riil di lapangan. Dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai area pembangunan sehingga terbentuk konsep perencanaan pembangunan daerah, keduanya menyatakan bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah suatu konsep perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam daerah tertentu dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tetapi berpegang pada asas prioritas.
Perencanaan pembangunan tidak mungkin hanya dilakukan di atas kertas tanpa melihat realitas di lapangan. Data valid di lapangan sebagai data primer merupakan ornamen-ornamen penting yang harus ada dan digunakan menjadi bahan dalam kegiatan perencanaan pembangunan. Dengan demikian perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktivitas kemasyarakatan baik yang bersifat fisik (mental spiritual) dalam rangka pencapaian tujuan yang lebih baik.
Mekanisme perencanaan pembangunan di Indonesia telah diterapkan secara luas mulai pertengahan tahun 1980-an. Mekanisme perencanaan tersebut menggunakan kombinasi antara pendekatan dari bawah (bottom up approach) dan dari atas (top down approach). Terdapat enam tahap yang dilalui, mulai dari musyawarah pembangunan desa (musbangdes), Diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) di tingkat kecamatan, rapat koordinasi pembangunan (rakorbang) di tingkat kabupaten/kota, rakorbang tingkat provinsi, konsultasi regional pembangunan (konregbang), dan konsultasi nasional pembangunan (konasbang).
Perluasan otonomi daerah yang semakin dititikberatkan kepada kabupaten/kota akan membawa konsekuensi dan tantangan yang cukup berat bagi pengelola administrasi negara di daerah, baik dalam tahap perumusan kebijakan maupun implementasinya program-program pembangunan. Oleh karena itu model pembangunan daerah di masa kini dan masa depan perlu difokuskan kepada pengembangan masyarakat lokal. Model pembangunan itu dilakukan melalui perubahan paradigma pembangunan top down ke pembangunan partisipatif.
Untuk mendapatkan hasil perencanaan pembangunan daerah yang baik, tepat waktu, tepat sasaran, berdaya guna dan berhasil guna, dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, karena masyarakat sebagai salah satu unsur dalam pembangunan, tentunya dapat mengetahui sekaligus memahami apa yang ada di wilayahnya, disamping itu dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, pemerintah telah memberikan kepercayaan kepada masyarakatnya, sehingga mereka dapat merasa ikut bertanggung jawab dan merasa memiliki program-program pembangunan yang jelas akan sangat menguntungkan bagi pelaksanaannya.
2.4. Partisipasi masyarakat
Untuk membahas partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, perlu kiranya diketahui perkembangan pembangunan di daerah yang selama ini dilakukan oleh pemerintah karena walau bagaimanapun peran pemerintah dalam pembangunan yang selama ini tidak terlepas dari peran masyarakat maka keberadaan masyarakat juga tidak dapat dipandang sebelah mata dalam kehidupan bernegara dan dalam kegiatan pembangunan. Beberapa hal yang dianggap penting untuk dibahas di dalam penelitian ini antara lain:
Partisipasi selain telah menjadi kata kunci dalam pembangunan, juga menjadi salah satu karakteristik dari penyelenggaraan pemerintah yang baik. Secara etimologi, partisipasi (participation) yang berarti mengambil bagian/keikutsertaan. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dijelaskan “partisipasi” berarti: hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan, peran serta. Secara umum pengertian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keperansertaan semua anggota atau wakil-wakil masyarakat untuk ikut membuat keputusan dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan termasuk di dalamnya memutuskan tentang rencana¬-rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, manfaat yang akan diperoleh, serta bagaimana melaksanakan dan mengevaluasi hasil pelaksanaannya.
Melihat dampak penting dan positif dari perencanaan partisipatif, dengan adanya partisipasi masyarakat yang optimal dalam perencanaan diharapkan dapat membangun rasa pemilikan yang kuat dikalangan masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang ada. Geddesian (dalam Soemarmo 2005 :26) mengemukakan bahwa pada dasarnya masyarakat dapat dilibatkan secara aktif sejak tahap awal penyusunan rencana. Keterlibatan masyarakatdapat berupa: (1) pendidikan melalui pelatihan, (2) partisipasi aktif dalam pengumpulan informasi, (3) partisipasi dalam memberikan alternatif rencana dan usulan kepada pemerintah. Secara skematis struktur partisipasi masyarakat dalam perencanaan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Struktur Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan
Sumber: Geddesian dalam Soemarmo
Bentuk lain dari partisipasi masyarakat adalah seperti yang dikemukakan oleh Robert (dalam Soemarmo, 2005). Robert pada dasarnya sependapat dengan geddesian. Ia mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat pada dasarnya diperlukan sejak awal dalam perencanaan pembangunan. Perencanaan pertisipatif menurut Robert dibagi atas perencanaan sebagai aktivitas perencana dan aktivitas masyarakat. Partisipasi masyarakat berada pada tahap pemilihan alternatif kebijakan dan program sementara penetapan tujuan, sasaran dan kebijakan dilakukan secara bersama dengan perencana. Adanya partisipasi masyarakat dalam penetapan tujuan, sasaran dan kebijakan secara bersama antara masyarakat dan perencana menurut Mc Connel (dalam Soemarmo, 2005) merupakan input sekaligus sebagai ekspresi dan aspirasi masyarakat.
Menurut Juliantara (2002:87) substansi dari partisipasi adalah bekerjanya suatu sistem pemerintahan dimana tidak ada kebijakan yang diambil tanpa adanya persetujuan dari rakyat, sedangkan arah dasar yang akan dikembangkan adalah proses pemberdayaan, lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan pengembangan partisipasi adalah: Pertama, bahwa partisipasi akan memungkinkan rakyat secara mandiri (otonom) mengorganisasi diri, dan dengan demikian akan memudahkan masyarakat menghadapi situasi yang sulit, serta mampu menolak berbagai kecenderungan yang merugikan. Kedua, suatu partisipasi tidak hanya menjadi cermin konkrit peluang ekspresi aspirasi dan jalan memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi bahwa partisipasi menjadi semacam garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan masyarakat. Ketiga, bahwa persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan akan dapat diatasi dengan adanya partisipasi masyarakat. (Juliantara, 2002: 89-90).
Literatur klasik selalu menunjukan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi program pembangunan, tetapi makna sub stantif yang terkandung dalam sekuen-sekuen partisipasi adalah voice, access dan control (Juliantara, 2002:90-91). Pengertian dari masing-masing sekuen tersebut di atas adalah:
- Voice, maksudnya adalah hak dan tindakan warga masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah.
- Access, maksudnya adalah mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik, termasuk didalamnya akses warga terhadap pelayanan publik.
- Control, maksudnya adalah bagaimana masyarakat mau dan mampu terlibat untuk mengawasi jalannya tugas-tugas pemerintah.
Sehingga nantinya akan terbentuk suatu pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif terhadap berbagai kebutuhan masyarakatnya.
Alexander Abe (2002:81) mengemukakan pengertian perencanaan partisipatif sebagai berikut: “perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung maupun tidak langsung) tujuan dan cara harus dipandang sebagai satu kesatuan. Suatu tujuan untuk kepentingan rakyat dan bila dirumuskan tanpa melibatkan masyarakat, maka akan sangat sulit dipastikan bahwa rumusan akan berpihak pada rakyat”. Lebih lanjut Abe mengemukakan langkah-langkah dalam perencanaan partisipatif yang disusun dari bawah yang dapat digambarkan sebagai tangga perencanaan dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut:
- Penyelidikan, adalah sebuah proses untuk mengetahui, menggali dan mengumpulkan persoalan-persoalan bersifat local yang berkembang di masyarakat.
- Perumusan masalah, merupakan tahap lanjut dari proses penyelidikan. Data atau informasi yang telah dikumpulkan diolah sedemikian rupa sehingga diperoleh gambaran yang lebih lengkap, utuh dan mendalam.
- Identifikasi daya dukung, dalam hal ini daya dukung diartikan sebagai dana konkrit (uang) melainkan keseluruhan aspek yang bisa memungkinkan target yang telah ditetapkan.
- Rumusan tujuan, tujuan adalah kondisi yang hendak dicapai, sesuatu keadaan yang diinginkan (diharapkan), dan karena itu dilakukan sejumlah upaya untuk mencapainya.
- Langkah rinci, penetapan langkah-langkah adalah proses penyusunan apa saja yang akan dilakukan. Proses ini merupakan proses membuat rumusan yang lebih utuh, perencanaan dalam sebuah rencana tindak.
- Merancang anggaran, disini bukan berarti mengahitung uang, melainkan suatu usaha untuk menyusun alokasi anggaran atau sumber daya yang tersedia.
Rumusan FAO yang dikutip Mikkelsen (2001:64) menyatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri dalam rangka pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka dengan cara memantapkan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melaksnakan persiapan, pelaksanaan dan monitoring priyek, agar mereka memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial yang ditimbulkan dengan keberadaan proyek tersebut.
Pandangan lainnya, sebagaimana dinyatakan oleh Mubyarto (1984:35), “partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan harus diartikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorban kepentingan diri sendiri”. Selanjutnya disebutkan pula bahwa dalam keadaan yang paling ideal keikutsertaan masyarakat merupakan ukuran tingkat partisipasi rakyat. Semakin besar kemampuan mereka untuk menentukan nasibnya sendiri, maka semakin besar pula kemampuan mereka dalam pembangunan.
Rumusan FAO dan pandangan Mubyarto di atas menunjukkan bahwa masyarakat harus dapat membantu dirinya sendiri dalam pembangunan. Hal ini dapat dicapai apabila ada kesempatan bagi mereka untuk melakukan komunikasi dengan pihak terkait, sehingga program apapun yang direncanakan sudah selayaknya memperhatikan situasi setempat dan kebutuhan masyarakat sebagai kelompok sasaran, yang selanjutnya mereupakan salah satu persyaratan agar kegiatan dapat dilaksanakan sesuai harapan dan masyarakat secara sukarela melakukan pengawasan guna dapat mewujudkan tujuan dari kegiatan yang dicanangkan. Semakin mantap tingkat komunikasi yang dilakukan maka semakin besar pula terjadinya persamaan persepsi antara para stakeholders pembangunan.
Hal ini senada sebagaimana dinyatakan Soemadi Rekso Putranto (1992:51 - 52) bahwa peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan hendaknya masyarakat tidak dipandang sebagai obyek semata, tetapi harus dilibatkan sebagai pelaku aktif dalam pembangunan mulai sejak perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Selanjutnya hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah hendaknya masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan secara proposional sesuai dengan peranannya masing-masing.
Guna dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat sesuai kondisi obyektif yang ada, maka partisipasi masyarakat dalam berbagai tahapan pembangunan merupakan suatu kebutuhan.hal ini sejalan sebagaimana dinyatakan Bintoro bahwa guna mencapai keberhasilan pembangunan maka partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangat penting, yang dapat dilaksanakan dalam kegiatan berikut: (1) Keterlibatan dalam penentuan arah, kinerja dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah; (2) Keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, yang termasuk di dalamnya adalah memikul beban dan tanggung jawab pembangunan, yang dapat dilakukan dengan sumbangan memobilisasi pembiayaan pembangunan, melakukan kegiatan produktif, mengawasi jalannya pembangunan dan lain-lain; (3) Keterlibatan dalam menerima hasil dan manfaat pembangunan secara adil.
Pandangan Bintoro di atas mencerminkan bahwa partisipasi masyarakat dalam tahapan-tahapan pembangunan pada prinsipnya merupakan tahapan pengambilan keputusan tentang rencana yang dilakukan. Tahapan selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan yaitu menerima manfaat secara proporsional, dan mengawasi program pembangunan yang dilaksanakan. Dengan perencanaan pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat, berarti sudah mempertimbangkan kebutuhan dan situasi lingkungan masyarakat. Hal ini penting dalam tahapan proses selanjutnya, dimana masyarakat akan melaksanakan program yang direncanakan. Jika mereka merasa ikut memiliki dan merasakan manfaat program tersebut, maka diharapkan masyrakat dapat secara aktif melakukan pengawasan terhadap program, sehingga penyimpangan¬penyimpangan dapat lebih dihindarkan, guna mencapai keberhasilan pembangunan sesuai tujuan yang telah direncanakan.
Terkait dengan masyarakat dalam tahapan kegiatan pembangunan, (Siagian, 1989:108) menyatakan bahwa partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan proses dalam memilih alternatif yang diberikan semua unsur masyarakat, lembaga formal, lembaga sosial dan lain-lain. Ini berarti partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat penting, karena masyarakat dituntut untuk dapat menentukan apa yang ingin dicapai, permasalahan apa yang dihadapi, alternatif apa yang kiranya dapat mengatasi masalah itu, dan alternatif mana yang terbaik harus dilakukan guna mengatasi permasalahan tersebut.
Disadari bahwa dalam perencanaan pembangunan peran masyarakat sangat penting, namun kemampuan masyarakat pada umumnya masih relatif terbatas. Masih kurang dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan sehingga diskusi intensif antara pihak berkepentingan (stakeholders), baik dari unsur pemerintah, akademi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha terkait perlu diselenggarakan untuk dapat saling melengkapi informasi dan menyamakan persepsi tentang kebijkaan yang akan diputuskan oleh aparat tersebut.
Pusic (dalam Adi, 2001:206-207) menyatakan bahwa Perencanaan pembangunan tanpa memperhatikan partisipasi masyarakat akan menjadi perencanaan di atas kertas. Berdasarkan pandangannya, partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan desa dlihat dari 2 hal, yaitu:
a. Partsipasi dalam perencanaan
Segi positif dari partsipasi dalam perencanaan adalah program-program pembangunan desa yang telah direncanakan bersama sedangkan segi negatifnya adalah adanya kemungkinan tidak dapat dihindari pertentangan antar kelompok dalam masyarakat yang dapat menunda atau bahkan menghambat tercapainya keputusan bersama. Disini dapat ditambahkan bahwa partisipasi secara langsung dalam perencanaan hanya dapat dilaksanakan dalam masyarakat kecil, sedangkan untuk masyarakat yang besar sukar dilakukan. Namun dapat dilakukan dengan sistem perwakilan. Masalah yang perlu dikaji adalah apakah yang duduk dalam perwakilan benar-benar mewakili warga masyarakat.
b. Partsipasi dalam pelaksanaan.
Segi positif dari Partsipasi dalam pelaksanaan adalah bahwa bagian terbesar dari program (penilaian kebutuhan dan perencanaan program) telah selesai dikerjakan. Tetapi segi negatifnya adalah kecenderungan menjadikan warga negara sebagai obyek pembangunan, dimana warga hanya dijadikan pelaksana pembangunan tanpa didorong untuk mengerti dan menyadari permasalahan yang mereka hadapi dan tanpa ditimbulkan keinginan untuk mengatasi masalah. Sehingga warga masyarakat tidak secara emosional terlibat dalam program, yang berakibat kegagalan seringkali tidak dapat dihindari.
Pandangan Pusic yang menekankan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa hanya pada tahap perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan nampaknya belum lengkap guna menjamin kesinambungan pencapaian tujuan pembangunan desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Adi yang melengkapi pandangan Pusic. Menurut Adi (2001:208), dalam perkembangan pemikiran tentang partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan suatu komunitas, belumlah cukup hanya melihat partisipasi masyarakat hanya pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. partisipasi masyarakat hendaknya pula meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak diarahkan (non direktif), sehingga partisipasi masyarakat meliputi proses-proses:
a. Tahap Assesment.
b. Tahap perencanaan alternatif program atau kegiatan.
c. Tahap pelaksanaan (implementasi) program atau kegiatan.
d. Tahap evaluasi (termasuk didalamnya evaluasi input, proses dan hasil).
Berdasarkan hal di atas, maka dapat dilihat bahwa partisipasi yang dilakukan masyarakat bersama-sama pihak terkait lainnya dalam berbagai tahapan pembangunan akan menghasilkan konsensus dalam kebijakan pembangunan, dan sekaligus melatih masyarakat menjadi lebih pandai khususnya dalam penanganan masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Wicaksono dan Sigiarto (Wijaya, 2001) berpendapat bahwa perencanaan partisipatif adalah usaha yang dilakukan masyarakat untuk memecahkan masalah yang dihadapi agar mencapai kondisi yang diharapkan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan secara mandiri. Keduanya mengemukakan ciri-ciri perencanaan partisipatif sebagai berikut:
- Terfokus pada kepentingan masyarakat. a. Perencanaan program berdasarkan pada masalah dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat. b. Perencanaan disiapkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang memenuhi sikap saling percaya dan terbuka.
- Partisipatoris (keterlibatan) Setiap masyarakat melalui forum pertemuan, memperoleh peluang yang sama dalam sumbangan pemikiran tanpa dihambat oleh kemampuan berbicara, waktu dan tempat.
- Dinamis a. Perencanaan mencerminkan kepentingan dan kebutuhan semua pihak. b. Proses perencanaan berlangsung secara berkelanjutan dan proaktif.
- Sinergitas a. Harus menjamin keterlibatan semua pihak. b. Selalu menekankan kerja sama antar wilayah administrasi dan geografi. c. Setiap rencana yang akan dibangun sedapat mungkin menjadi kelengkapan yang sudah ada, sedang atau akan dibangun. d. Memperhatikan interaksi diantara stakeholders.
- Legalitas a. Perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan mengacu pada semua peraturan yang berlaku. b. Menjunjung etika dan tata nilai masyarakat. c. Tidak memberikan peluang bagi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
- Fisibilitas Perencanaan harus bersifat spesifik, terukur, dan dijalankan dan mempertimbangkan waktu. Senada dengan ciri-ciri diatas Samsura (dalam Fitriasturi, 2005:40) mengemukakan kriteria-kriteria dari perencanaan partisipatif sebagai berikut: a. Adanya perlibatan seluruh stakeholders. b. Adanya upaya pembangunan institusi masyarakat yang kuat dan legitimate. c. Adanya proses politik melalui negosiasi atau urun rembuk yang pada akhirnya mengarah pada pembentukan kesepakatan bersama (collective agreement). d. Adanya usaha pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pembelajaran kolektif yang merupakan bagian dari proses demokratisasi.
Pendekatan partisipatif dalam perencanaan pembangunan menjadikan masyarakat tidak hanya dianggap sebagai objek pembangunan semata, tetapi juga sebagai subyek dalam pembangunan. Pembangunan yang berorientasi pada masyarakat berarti hasil pembangunan yang akan dicapai akan bermanfaat dan berguna bagi masyarakat, selain itu juga resiko akan ditanggung pula oleh masyrakat.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan perspektif pendekatan kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln (dalam Moleong 2006:5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Adapun Bogdan dan taylor (dalam moleong 2006:4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai pro sedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (dalam Moleong 2006:4) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.
Menurut Nazir (1983), penelitian deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat, melukiskan secara tepat sifat¬sifat dari beberapa fenomena kelompok atau individu, menentukan frekuensi terjadinya suatu keadaan untuk meminimalkan bias dan memaksimalkan reabilitas. Analisanya dikerjakan berdasarkan ex post facto, artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian berlangsung (Nazir, 1983:105). Metode deskriptif umumnya memiliki 2 ciri khas utama: (1) memusatkan diri pada masalah-masalah yang ada sekarang; (2) data yang dikumpulkan pertama kali disusun, dijelaskan kemudian dianalisa karena itu metode deskriptif sering disebut metode analisa. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gej ala atau kelompok-kelompok tertentu atau menemukan penyebaran (frekuensi) suatu gejala dan gejala lainnya dalam masyarakat.
Menurut Singarimbun, penelitian deskriptif biasa dilakukan tanpa hipotesa yang dirumuskan secara ketat. Ia mengontrol juga hipotesa tetapi tidak akan diuji secara statistik. Selain itu ia mempunyai 2 tujuan untuk mengetahui perkembangan sarana fisik dan frekuensi kerjanya suatu aspek fenomena sosial. Tujuan kedua adalah mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu (Singarimbun dan Effendi, 1982:4).
Melalui metode penelitian deskriptif, metode ini berusaha mendeskripsikan atau melukiskan secara terperinci atau mendalam partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Sukabumi. Dengan pemilihan rancangan deskriptif kualitatif, maka penulis akan melakukan pendekatan terhadap obyek penelitian dengan menggali informasi sesuai dengan persepsi penulis dan informan dan dapat berkembang sesuai dengan interaksi yang terjadi dalam proses wawancara. Penulis senantiasa menginterpretasikan makna yang tersurat dan tersirat dari penjelasan yang diberikan informan, hasil observasi lapangan serta catatan pribadi.
3.2. Fokus Penelitian
Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Nasution, 1992:31) dalam menentukan fokus penelitian kualitatif pada awalnya Masalah yang akan teliti masih umum dan samar-samar akan bertambah jelas dan mendapat fokus setelah penulis berada dalam lapangan. Fokus itu masih mungkin mengalami perubahan selama berlangsungnya penelitian.
Dengan perumusan fokus penelitian yang baik maka penulis akan terhindar dari pengumpulan data yang tidak relevan dan tidak terjebak pada bidang yang umum dan luas. Fokus penelitiannya adalah studi partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah di Kecamatan Raba Kota Bima.
3.3. Fenomena Pengamatan
Fenomena pengamatan dalam penelitian ini dikembangkan dari pengertian perencanaan partisipatif yaitu usaha yang dilakukan masyarakat untuk memecahkan masalah yang dihadapi agar mencapai kondisi yang diharapkan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan secara mandiri.
Adapun fenomena pengamatan dalam penelitian ini adalah:
- Terfokus tidaknya perencanaan pada kepentingan masyarakat dilihatdari: a. Apakah perencanaan program berdasarkan pada masalah dan kebutuhan yang dihadapi masyarakat. b. Apakah perencanaan disiapkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang memenuhi sikap saling percaya dan terbuka.
- Partisipasi masyarakat dilihat dari: a. Apakah masyarakat memperoleh peluang yang sama dalam memberikan sumbangan pemikiran. b. Apakah masyarakat mengalami hambatan terkendala waktu dan tempat dalam memberikan sumbangan pemikiran. c. Apakah masyarakat ikut memutuskan prioritas kegiatan yang akan diajukan dalam musrenbang yang lebih tinggi.
- Sinergitas perencanaan dilihat dari : Apakah selalu menekankan kerja sama antar wilayah administrasi dan geografi serta terdapat interaksi diantara stakeholders.
- Legalitas perencanaan dilihat dari : Apakah perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan mengacu pada semua peraturan yang berlaku serta menjunjung etika dan tata nilai masyarakat.
3.4.Pemilihan Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian, ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian (Moleong 2006:132). Oleh karena itu seorang informan harus benar-benar tahu atau pelaku yang terlibat langsung dengan permasalahan penelitian (Bogdewic dalam Budi Puspo). Memilih seorang informan harus dilihat kompetensinya bukan hanya sekedar untuk menghadirkannya (Bernard dalam Budi Puspo).
Agar dapat mengumpulkan informasi dari obyek penelitian sesuai dengan fenomena yang diamati, dilakukan pemilihan kepada unsur masyarakat secara purposive sebagai informan. Pemillihan didasarkan atas pertimbangan bahwa informan memiliki pemahaman terhadap fenomena penelitian. Tambahan informasi diperoleh dari informan lainnya yang ditentukan dengan teknik snow ball sampling. Penelusuran informan akan berakhir jika sudah tidak diperoleh tambahan informasi atau dihadapkan pada kendala dana dan waktu (Breg, Guba dan Lincoln dalam Fitriastuti, 2005 :75).
3.5. Instrumen Penelitian
Salah satu cirri utama penelitian kualitatif adalah manusia sangat berperan dalam keseluruhan proses penelitian, termasuk dalam pengumpulan data, bahkan peneliti itu sendirilah instrumennya (Moleong 2006:241). Menurut Moleong cirri¬ciri umum manusia sebagai instrumen mencakup segi responsive, dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri atas pengetahuan, memproses dan mengikhtisarkan, dan memanfaatkan kesemapatan mencari respons yang tidak lazim.
Adapun alat Bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat fotografi, tape recorder, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian dan alat bantu lainnya.
3.6. Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang langsung dikumpulkan pada saat melaksanakan penelitian di lapangan berupa rekaman wawancara, pengamatan langsung melalui komunikasi yang tidak secara langsung tentang pokok masalah. Sedangkan data sekunder adalah data yang merupakan hasil pengumpulan orang atau instansi dalam bentuk publikasi, laporan, dokumen, dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Wawancara semi struktur
Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono).
b. Observasi.
Observasi atau biasa dikenal dengan pengamatan adalah salah satu metode untuk melihat bagaimana suatu peristiwa, kejadian, hal-hal tertentu terjadi. Observasi menyajikan gambaran rinci tentang aktivitas program, proses dan peserta. Dalam penelitian ini menggunakan observasi partisipasi pasip yaitu peneliti dating di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.
3.7. Analisa Data
Prinsip utama dalam analisa data adalah bagaimana menjadikan data atau informasi yang telah dikumpulkan disajikan dalam bentuk uraian dan sekaligus memberikan makna atau interprestasi sehingga sehingga informasi tersebut memiliki signifikan ilmiah atau teoritis.
Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Bikken dalam Moleong (2006:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abe, Alexander,, 2001, Perencanaan daerah memperkuat prakarsa rakyat dalam otonomi daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.
Abe, Alexander, 2002, Perencanaan Daerah Partisipatif, Penerbit Pondok Edukasi, Solo.
Adi, Isbandi Rukminto, 2001, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Lembaga Penelitian FE-UI, Jakarta.
Budi Puspo, Bahan Ajar Metodologi Penelitian Kualitatif, Universitas Diponegoro, Semarang.
Conyers, Diana, 1994, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hariani, Dyah, dkk, Bahan Ajar Manajemen Strategis dan Manajemen Pembangunan
Fitriastuti, NurwiMayasri, 2005, Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Tengah, (Studi Optimalisasi Fungsi DPRD), Tesis, Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro, Semarang.
Hasibuan, Malayu, S.P.Drs, 1993, Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah, CV. Haju Masagung, Jakarta.
Kunarjo, 2002, Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan, Universitas Indonesia UI Press, Jakarta.
Kartasasmita, Ginanjar, 1997, Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta.
Moleong, Lexy, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif , PT. Remaja Rosada Karya, Bandung.
Mubiyarto, 1984, Pem bangunan Pedesaan, P3PK UGM, Yogyakarta.
Mikkelsen, Britha, 2006, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Michael, Todaro, 1977, Pembangunan ekonomi di dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta.
Muhadjir, H. Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rakesarasin, Yogyakarta.
Milles, MB & Hubberman, AM, (1992) Analisis Data Kualitatif , Terjemahan oleh Tjetjep Rohidi dan mulyarto, UI Percetakan, Jakarta.
Moelyarto, Tjokrowinoto, 1999, Restrukturisasi Ekonomi dan Birokrasi, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Nasution, 1992, Metode Penelitian Naturalistik – Kualitatif, Tarsito, Bandung. Nazir, Muhamad, 1983, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Riyadi dan Bratakusumah, D.S, 2004, Perencanaan Pembangunan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
ReksoPutranto, Soemadi, 1992, Manajemen Proyek Pemberdayaan, Lembaga Penerbitan FE-UI, Jakarta.
Siagian, Sondang P, 1994, Administrasi Pembangunan, Gunung Agung, Jakarta.
Singarimbun, Masri dan sofyan Effendi, 1986, Metode Penelitian Survey, Suntingan LP3ES, Jakarta.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta.
Soemarmo, 2005, Analisis Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif Pada Proses Perencanaan Pembangunan Di Kota Semarang (Studi Kasus Pelaksanaan Penjaringan Aspirasi Masyarakat Di Kecamatan Banyumanik), Tesis, Magister Administrasi Publik, Universitas Diponegoro, Semarang.
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1995, Manajemen Pembangunan, Gunung Agung, Jakarta.
Wijaya, Rina, 2001, Forum Pengambilan Keputusan dalam Proses Perencanaan Pembangunan di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Kelurahan Jebres Kecamatan Jebres Kota Surakaarta), Tesis, MagisterPerencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.