BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan
ekonomi merupakan serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, memeratakan
distribusi pendapatan, meningkatkan hubungan ekonomi regional dan mengusahakan
pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier.
Dalam kerangka perekonomian daerah, Arsyad (1999) menyatakan bahwa pembangunan
ekonomi daerah adalah proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola
sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan
sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi daerah. Dalam kerangka pencapaian tujuan
pembangunan ekonomi daerah tersebut dibutuhkan kebijakan pembangunan yang
didasarkan pada kekhasan daerah (endogenous development), dengan
menggunakan potensi sumberdaya lokal.
Dalam
upaya mendorong peningkatan partisipasi
dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan daerah maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah. Otonomi daerah merupakan perwujudan kewenangan
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 juga mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan desentralisasi.
Upaya
untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat telah
tercantum dalam GBHN 1999-2004, yaitu dengan memberdayakan pelaku dan potensi
daerah serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga
terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah. Sejalan pula dengan isu lintas bidang yang tercantum dalam Program
Pembangunan Nasional (Propenas 2000-2004) bahwa untuk meningkatkan dan
mempercepat pembangunan daerah dilakukan dengan konsep pembangunan lintas
wilayah. Isu pembangunan lintas wilayah mencakup upaya pengembangan wilayah
untuk mendayagunakan potensi dan kemampuan daerah dengan berbagai alat kebijakan yang mendukung perkembangan
perekonomian daerah, berkembangnya pemukiman, perkotaan, pedesaan, wilayah
cepat tumbuh, perbatasan dan wilayah tertinggal, serta pemberdayaan masyarakat
untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, meningkatkan hidup dan kehidupannya.
Salah
satu implementasi Propenas 2000-2004 mengenai isu pembangunan lintas wilayah
adalah upaya pengembangan wilayah. Dalam hal ini pemerintah pusat telah
mengakomodir keinginan pemerintah dan masyarakat daerah melalui pemekaran
wilayah, baik pada tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota.
Di
lain pihak, setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda baik dari sisi
potensi kandungan sumber daya alam, kondisi geografis maupun potensi khas
daerah lainnya. Oleh karena itu penyusunan kebijaksanaan pembangunan daerah,
terutama bagi daerah baru, tidak dapat secara serta merta mengadopsi
kebijaksanaan nasional, Provinsi maupun daerah induknya atau daerah lain yang
dianggap berhasil. Untuk membangun suatu daerah, kebijakan yang diambil harus
sesuai dengan masalah, kebutuhan dan potensi daerah yang bersangkutan. Oleh
karena itu penelitian yang mendalam harus dilakukan untuk memperoleh informasi
bagi kepentingan perencanaan pembangunan daerah (Arsyad, 1999). Terkait dengan
pentingnya identifikasi kebutuhan dan potensi dalam proses perencanaan
pembangunan daerah, maka berbagai pendekatan model perencanaan pembangunan
daerah dapat dilakukan untuk menentukan arah dan bentuk kebijakan yang diambil.
Salah satu model pendekatan pembangunan daerah adalah pendekatan sektoral.
Sebagaimana yang dikemukakan Aziz (1994), pendekatan sektoral dalam perencanaan
pembangunan daerah selalu dimulai dengan pertanyaan “sektor ekonomi apa yang
perlu dikembangkan”. Oleh karena itu identifikasi dan analisis sektor ekonomi
potensial menjadi hal penting bagi Kota Bima sebagai daerah otonom yang relatif
baru.
Kota Bima terbentuk pada tahun 2002 sebagai pemekaran dari Kabupaten Bima.
Kota Bima dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2002, secara geografis berada di bagian timur Pulau Sumbawa dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima
- Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Wawo Kabupaten Bima
- Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Belo Kabupaten Bima
- Sebelah Barat: berbatasan dengan Teluk Bima
Kota Bima memiliki luas 222,25 Km2, secara geografis terletak antara posisi 180 41’ 00” – 1180 48’ 00” Bujur Timur dan 80 30’ 00” – 80 20’ 00” Lintang Selatan.
Secara administratif, Kota Bima terdiri dari 5 (lima) kecamatan yaitu Kecamatan Rasanae Barat, Rasanae Timur, Mpunda, Raba dan Asakota, serta terdiri dari 38 kelurahan.
- Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima
- Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Wawo Kabupaten Bima
- Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Belo Kabupaten Bima
- Sebelah Barat: berbatasan dengan Teluk Bima
Kota Bima memiliki luas 222,25 Km2, secara geografis terletak antara posisi 180 41’ 00” – 1180 48’ 00” Bujur Timur dan 80 30’ 00” – 80 20’ 00” Lintang Selatan.
Secara administratif, Kota Bima terdiri dari 5 (lima) kecamatan yaitu Kecamatan Rasanae Barat, Rasanae Timur, Mpunda, Raba dan Asakota, serta terdiri dari 38 kelurahan.
Pembentukan
Kota Bima ini dilakukan karena keinginan masyarakat dan dilandasi oleh tujuan
sebagai berikut:
1. memperpendek
rentang kendali (span of control) pemerintah,
sehingga azas efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan pembangunan bidang pemerintahan dapat terwujud;
2. meningkatkan
pelayanan terhadap masyarakat;
3. meningkatkan
kemampuan daerah melalui eksploitasi sumber daya alam yang ada pada daerah tersebut secara optimal, guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan
mempercepat pembangunan;
4.
meningkatkan fungsi pengawasan yang
efektif terhadap sistem pertahanan dan keamanan wilayah sebagai bagian integral
dari sistem pertahanan dan keamanan nasional.
Berikut
ini akan ditampilkan data PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan data laju
pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha di Kota
Bima dari tahun 2003-2007 .
Tabel 1. PDRB Kota Bima Atas Dasar Harga Berlaku
Tahun 2000
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003-2007 (Juta Rupiah)
No
|
Lapangan Usaha
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
1
|
Pertanian
|
78.284,80
|
80.183,07
|
79.785,98
|
79.577,31
|
82.913,58
|
2
|
Pertambangan dan Penggalian
|
397,186
|
426,419
|
454,52
|
496,02
|
534,18
|
3
|
Industri Pengolahan
|
11.113,43
|
11.790,24
|
12.242,99
|
12.733,93
|
13.244,56
|
4
|
Listrik, Gas dan Air Bersih
|
2.637,57
|
2.851,33
|
2.942,50
|
3.008,78
|
3.163,42
|
5
|
Bangunan
|
21.431,66
|
22.899,94
|
23.993,21
|
25.843,08
|
27.398,84
|
6
|
Perdagangan, Hotel dan Restoran
|
55.808,83
|
59.602,05
|
63.484,83
|
67.972,49
|
72.690,04
|
7
|
Pengangkutan dan Komunikasi
|
50.952,30
|
54.847,90
|
59.071,39
|
63.990,65
|
68.699,19
|
8
|
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
|
15.948,65
|
17.203,41
|
18.174,90
|
19.492,14
|
20.874,19
|
9
|
Jasa-Jasa
|
91.401,05
|
91.969,85
|
93.272,09
|
97.080,48
|
102.760,41
|
|
Jumlah
|
327.975,48
|
341.774,20
|
353.422,41
|
370.194,88
|
392.278,41
|
Sumber :BPS Kota Bima 2008
Tabel 2 : Laju Pertumbuhan PDRB Kota
Bima Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003-2007 (%)
No
|
Lapangan Usaha
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
Rata – Rata
|
1
|
Pertanian
|
5,46
|
2,42
|
-0,5
|
-0,26
|
4,19
|
2,26
|
2
|
Pertambangan dan Penggalian
|
4,85
|
7,36
|
6,59
|
9,13
|
7,69
|
7,12
|
3
|
Industri Pengolahan
|
4,76
|
6,09
|
3,84
|
4,01
|
4,01
|
4,54
|
4
|
Listrik, Gas dan Air Bersih
|
4,36
|
8,1
|
3,2
|
2,25
|
5,14
|
4,61
|
5
|
Bangunan
|
5,66
|
6,85
|
4,77
|
7,71
|
6,02
|
6,20
|
6
|
Perdagangan, Hotel dan Restoran
|
6,19
|
6,8
|
6,51
|
7,07
|
6,94
|
6,70
|
7
|
Pengangkutan dan Komunikasi
|
6,35
|
7,65
|
7,7
|
9,17
|
7,36
|
7,65
|
8
|
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
|
4,67
|
7,87
|
5,65
|
7,25
|
7,09
|
6,51
|
9
|
Jasa-Jasa
|
1,35
|
0,62
|
1,42
|
4,08
|
5,85
|
2,66
|
|
Jumlah
|
4,48
|
4,21
|
3,41
|
4,89
|
5,97
|
4,59
|
Sumber : BPS Kota Bima, 2008
Jika
dilihat secara sektoral maka sektor pertanian dan sektor jasa tetap mendominasi
kontribusi PDRB atas dasar harga konstan Kota Bima. Selama tahun 2003-2007 rata-rata pertumbuhan ekonomi sektor
pengangkutan dan komunikasi dan sektor perdagangan, hotel dan restoran cukup
agresif yaitu sebesar 16,62 persen dan 17,86 persen.
Dengan
melihat pembangunan ekonomi Kota Bima melalui deskripsi struktur dan
pertumbuhan ekonomi, maka tampak bahwa Kota Bima merupakan wilayah pusat
pertumbuhan baru yang berkembang cukup pesat. Namun pembangunan ekonomi suatu
wilayah, tidak cukup hanya dilihat dari sisi struktur dan pertumbuhan ekonomi
saja. Menurut Thoha dan Soekarni (2000), selain struktur dan pertumbuhan
ekonomi, kemampuan (potensi) ekonomi suatu wilayah dapat diukur melalui track record indikator-indikator ekonomi
seperti: income per kapita, keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan
lain-lain. Selain itu sebagai wilayah baru, sangat penting untuk mengetahui
bagaimana kinerja perekonomian, pola struktur pertumbuhan ekonomi baik secara
wilayah (posisi relatif) maupun secara sektoral (antar sektor) dan bagaimana
pula tingkat spesialisasi perekonomian di Kota Bima.
Berdasarkan
uraian di atas, maka analisis sektor maupun subsektor ekonomi potensial dalam
perencanaan pembangunan Kota Bima, dengan melakukan perbandingan terhadap
kondisi perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Barat sangat penting untuk dikaji
secara lebih terrinci, sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi potensial Kota Bima
dapat lebih dikembangkan. Dengan mengetahui potensi ekonomi yang layak
dikembangkan, maka penyusunan perencanaan pembangunan Kota Bima diharapkan
lebih terarah sehingga merangsang terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
1.2
Perumusan Masalah
Sejalan
dengan latar belakang dan uraian sebelumnya, maka masalah-masalah yang akan
dianalisis dalam penelitian ini adalah:
1. Sektor
dan subsektor ekonomi apa yang potensial di Kota Bima, berdasarkan kriteria
keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan spesialisasi?
2. Bagaimana
pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di Kota Bima baik secara sektoral maupun
secara agregat terhadap Provinsi Nusa Tenggara Barat?
1.3
Tujuan Penelitian
Secara
spesifik tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.
Mengidentifikasi dan menganalisis sektor/subsektor ekonomi potensial di Kota
Bima, berdasarkan kriteria keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan
spesialisasi.
2.
Mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi Kota Bima baik secara sektoral maupun secara agregat terhadap Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
1.4
Kegunaan Penelitian
Manfaat
yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu:
1. Melalui informasi mengenai sektor dan
subsektor ekonomi potensial berdasarkan kriteria keunggulan komparatif,
keunggulan kompetitif, dan spesialisasi serta berdasarkan pola dan struktur
pertumbuhan ekonomi Kota Bima, dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kota Bima
dalam rangka penyusunan perencanaan pembangunan ekonomi daerah.
2.
Hasil penelitian ini dapat pula digunakan sebagai bahan acuan untuk
penelitian-penelitian serupa selanjutnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Sebelumnya
Penelitian
terdahulu yang pernah dilakukan untuk mengidentifikasi sektor dan subsektor
potensial yang dilakukan di luar negeri antara lain oleh Coughlin dan Pollard
di Amerika Serikat (2001). Dengan memakai alat analisis shift share dan dilanjutkan dengan perluasan dari Gazel dan Schwer, mereka membandingkan
pertumbuhan ekspor industri manufaktur di berbagai negara bagian di Amerika
Serikat dan faktor apa saja yang menimbulkan perbedaannya. Hasil yang didapat
adalah selama tahun 1988 sampai 1998 kinerja ekspor negara bagian menunjukkan
banyak variasi yang disebabkan oleh distribusi industri dari sebagian besar
negara bagian semakin serupa dengan distribusi secara nasional pada tahun
penelitian. Kemiripan eksporsecara geografis mengalami sedikit perubahan, arti
penting efek tujuan luar negeri mungkin menjadi lebih penting dalam kaitannya
dengan efek bauran industri.
Yusuf
(1999) dalam studinya menggunakan analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) untuk
melihat deskripsi kegiatan ekonomi potensial di Provinsi Bangka Belitung. Hasil
penelitian tersebut menyebutkan bahwa perekonomian Kabupaten Bangka didominasi
oleh sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air minum, sedangkan sektor ekonomi potensial yang dapat dikembangkan
terdiri atas sektor pertanian, angkutan dan komunikasi, dan jasa-jasa. Hal
serupa dilakukan juga oleh Nugraha (2003) dalam mengidentifikasi sektor ekonomi
potensial di Kota Prabumulih. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sektor
pertambangan dan penggaliandan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan
sektor ekonomi potensial yang sesuai dengan kondisi Kota Prabumulih sebagai
penghasil minyak bumi bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Disamping itu, Kota
Prabumulih juga sebagai kota satelit bagi Kota Palembang sehingga sektor
perdagangan, hotel dan restoran berkembang pesat.
Melalui
analisis LQ yang diteliti oleh Marwa (2000) diketahui bahwa sektor basis di Provinsi
Nusa Tenggara Barat adalah sektor pertanian, pertambangan migas dan
perdagangan. Namun berdasarkan analisis shift-share,
sektor dan subsektor yang relatif bisa dikembangkan adalah sektor pertanian, subsektor
penggalian nonmigas, subsektor industri migas, sektor perdagangan dan sektor
jasa. Kemudian Aswandi (2002), melakukan penelitian mengenai evaluasi penetapan
kawasan andalan di Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam penelitiannya digunakan
alat analisis LQ, tipologi klassen
dan indeks spesialisasi regional. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah
bahwa berdasarkan analisis tipologi
klassen, dari ketiga kawasan andalan yang telah ditetapkan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan hanya Kabupaten Kotabaru yang berada pada klasifikasi daerah
cepat maju dan tumbuh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan kawasan
andalan sebagai daerah yang memiliki keterkaitan perekonomian sektoral dengan
daerah lainnya masih lemah.
Selanjutnya
dengan analisis shift share modifikasi
Estaban Marquillas yang digunakan Saimima (2003) untuk mengetahui sektor
ekonomi potensial di Kota Ambon diperoleh kesimpulan bahwa sebelum konflik,
perekonomian di Kota Ambon berspesialisasi pada sektor industri pengolahan dan
sektor bangunan, sedangkan sektor pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang
memiliki keunggulan kompetitif di Kota Ambon. Pada periode setelah konflik,
hanya sektor perdagangan yang mempunyai spesialisasi namun tidak memiliki
keunggulan kompetitif, sedangkan sektor pertambangan mempunyai keunggulan
kompetitif yang cukup besar.
2.2. Landasan Teori
2.2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Pada
awal pemikiran tentang pembangunan ekonomi sering ditemukan adanya pandangan
yang mengidentikkan pembangunan dengan perkembangan (pertumbuhan). Seluruh
pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan, dimana pembangunan dan
pertumbuhan, secara keseluruhan mengandung unsur perubahan. Kedua hal tersebut
memiliki perbedaan prinsipil, karena masing-masing memiliki latar belakang,
hakikat dan prinsip kontinuitas yang berbeda, meskipun keduanya memiliki bentuk
refleksi perubahan (Bratakusumah, 2003). Menurut Jhingan (1988), beberapa ahli
ekonomi seperti Schumpeter dan Ursula Hicks, telah membuat perbedaan antara
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan menurut Schumpeter
merupakan perubahan secara spontan dan terputus dalam keadaan stasioner yang
senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya.
Sementara pembangunan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan
melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi lainnya
(Mangiri, 2000). Namun seiring perkembangan dan era globalisasi seperti
sekarang ini, konsep pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berjalan seiring,
dimana jika terjadi pembangunan, maka pertumbuhan merupakan sisi dampak dari
adanya suatu pembangunan.
Selanjutnya,
dalam konteks pembangunan ekonomi daerah maka pengertian daerah (region) itu sendiri berbeda-beda tergantung
pada aspek tinjauannya. Dari aspek ekonomi oleh Arsyad (1999) daerah mempunyai
tiga pengertian yaitu:
1. Suatu
daerah dianggap sebagai ruang dimana kegiatan ekonomi terjadi dan di dalam
berbagai pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama. Kesamaan
sifat-sifat tersebut antara lain dari segi pendapatan per kapita, sosial
budaya, geografis dan sebagainya. Daerah dalam pengertian seperti ini disebut
daerah homogen.
2. Suatu
daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau
beberapa pusat kegiatan ekonomi. Daerah dalam pengertian ini disebut daerah
modal.
3. Suatu
daerah adalah suatu ekonomi ruang yang berada di bawah satu administrasi
tertentu seperti satu Provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan sebagainya. Jadi
daerah di sini didasarkan pada pembagian administrasi suatu negara. Daerah
dalam pengertian seperti ini dinamakan daerah administrasi.
Berdasarkan
deskripsi di atas, maka pengertian ketiga lebih banyak digunakan dalam praktek
pembangunan ekonomi daerah. Wilayah
daerah biasanya lebih terbuka dibandingkan dengan wilayah nasional. Pergerakan
sumber daya antar daerah lebih bebas bila dibandingkan dengan pergerakan sumber
daya antar negara. Hal ini dimungkinkan karena halangan berupa tarif, kuota,
lisensi ekspor dapat dikatakan tanpa hambatan antar daerah.
Seperti
yang telah dikemukakan di atas bahwa pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah
bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas peluang kerja bagi masyarakat.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus
bersama-sama mengambil inisiatif memanfaatkan seluruh potensi yang ada secara
optimal dalam membangun daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Sjafrizal (1997)
mengatakan untuk mencapai tujuan pembangunan daerah, kebijaksanaan utama yang
perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas
pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini perlu
diusahakan karena potensi pembangunan yang dihadapi oleh masing-masing daerah
sangat bervariasi. Karena itu, bila prioritas pembangunan daerah kurang sesuai
dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, maka sumber daya yang
ada kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Keadaan tersebut
mengakibatkanrelatif lambatnya proses pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan.
Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dikatakan berjalan jika ditandai
dengan adanya pertumbuhan ekonomi. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi daerah,
maka teori-teori pembangunan daerah banyak membahas penggunaan alat analisis
dan metode statistik dalam menganalisis perekonomian suatu daerah serta teori
tentang berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Todaro
(2000) mengatakan bahwa ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan
ekonomi. Pertama, akumulasi modal yang meliputi semua bentuk dan jenis
investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia.
Kedua, pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya dengan sendirinya
membawa pertumbuhan angkatan kerja dan ketiga adalah kemajuan teknologi. Lebih
lanjut Kuznets (1999) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan
jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak
jenis barang ekonomi bagi penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan
kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan ideologi yang diperlukannya (Jhingan, 1999). Suatu
perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat
kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada yang telah dicapai pada masa sebelumnya.
Artinya perkembangan baru tercipta apabila jumlah barang dan jasa yang
dihasilkan (tingkat output) dalam perekonomian tersebut menjadi bertambah besar
pada tahun-tahun berikutnya. Menurut Syafrizal (2002), teori pertumbuhan
ekonomi daerah dapat dibagi atas empat kelompok besar, yang masing-masing
didasarkan pada asumsi yang berbeda, sehingga memberikan kesimpulan yang
berlainan pula. Kelompok pertama dinamakan sebagai export base modelsyang
dipelopori oleh North pada tahun 1956. Dalam teori export base dijelaskan
adanya perbedaan sumber daya dan keadaan geografis antara daerah, yang
menyebabkan masing-masing daerah mempunyai keuntungan lokasi dalam beberapa
sektor atau jenis kegiatan produksi. Keuntungan tersebut dapat dimanfaatkan
menjadi kegiatan basis ekspor dan sebagai sektor potensial (sektor basis) bagi
pertumbuhan ekonomi yang bersangkutan bila kegiatan tersebut dapat didorong
pertumbuhannya. Untuk mengetahui keuntungan lokasi suatu wilayah, dapat
dilakukan melalui studi terhadap sumber daya alam yang terdapat di wilayah yang
bersangkutan, seperti tingkat kesuburan tanah, keadaan geografis, jaringan
jalan dan kualitas sumber daya manusia. Selanjutnya untuk mengetahuisecara
kualitatif dapat diketahui melalui teknik statistik antara lain dengan
perhitungan Location Quotient.
Kelompok kedua lebih banyak berorientasi pada kerangka pemikiran neo classic.
Teori ini dipelopori oleh Stein pada tahun 1964, kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Roman pada tahun 1965 dan Siebert pada tahun 1969. Model neo
classic mendasarkan analisisnya pada fungsi produksi. Sama halnya dengan
analisis pada pertumbuhan ekonomi nasional, kelompok ini berpendapat bahwa
unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi daerah adalah modal, sumber
daya alam, sumber daya manusiadan lalu lintas terhadap pertumbuhan ekonomi
regional. Kelompok ketiga menggunakan alur pemikiran ala Keynes dan menamakan
pendekatannya sebagai cumulative causation models. Teori ini dipelopori oleh
Myrdal pada tahun 1957 dan kemudian diformulasikan lebih lanjut oleh Kaldor
pada tahun 1970. Penganut teori
cumulative causation berpendapat bahwa peningkatan pemerataan
pembangunan antar daerah tidak dapat hanya diserahkan pada kekuatan pasar
sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum neo classic. Bagaimanapun pemerintah
perlu melakukan campur tangan secara aktif dalam bentuk program pembangunan
wilayah, terutama untuk daerah yang tergolong masih terbelakang. Kelompok
keempat lazim dinamakan sebagai core
periphery models yang mula-mula diajukan oleh Friedman pada tahun 1966.
Kelompok core periphery models menekankan
analisisnya padahubungan yang erat dan saling mempengaruhi antar pembangunan
kota (core) dan desa (periphery). Menurut teori ini gerak
pembangunan perkotaan akan lebih banyak
ditentukan oleh keadaan desa-desa di sekitarnya. Sebaliknya corak pembangunan
daerah pedesaan juga sangat ditentukan oleh arah pembangunan daerah perkotaan.
Dengan demikian aspek interaksi antar daerah sangat ditonjolkan.
2.2.2 Struktur Ekonomi dan Pergeseran Sektoral
Secara
teoritis, struktur ekonomi suatu wilayah dapat dilihat dari berbagai sisi.
Dumairy (1996) membagi struktur ekonomi berdasarkan empat macam sudut tinjauan.
Pertama, berdasarkan tinjauan makro sektoral, yang membagi perekonomian menjadi
struktur agraris (agriculture),
industri (industrial) atau niaga (commerce), tergantung pada sektoryang
menjadi tulang punggung perekonomian suatu wilayah. Kedua, berdasarkan tinjauan
keruangan (spasial), yang membagi perekonomian menjadi struktur pedesaan
(tradisional) atau perkotaan (modern). Ketiga, berdasarkan tinjauan
penyelenggaraan, yang menjadikan perekonomian berstruktur etatis, egaliter atau
borjuis. Predikat ini tergantung pada siapa atau kalangan mana yang menjadi
pemeran utama dalam kegiatan perekonomian suatu wilayah. Keempat, struktur
ekonomi dapat dilihat berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan,
yaitu struktur ekonomi yang sentralistik atau desentralistik. Dalam kaitannya
dengan struktur ekonomisuatu wilayah, Todaro (2000) mengatakan bahwa proses
pertumbuhan ekonomi mempunyai kaitan erat dengan perubahan struktural dan
sektoral. Beberapa perubahan komponen utama struktural ini mencakup pergeseran
secaraperlahan-lahan aktifitas pertanian ke sektor nonpertanian dan dari sektor
industri ke sektor jasa. Suatu wilayah yang sedang berkembang proses
pertumbuhan ekonominya akan tercermin
dari penggeseran sektor ekonominya. Yaitu tercermin dari pergeseran sektor
ekonomi tradisional dimana sektor pertanian akan mengalami penurunan di satu
sisi dan peningkatan peran sektor nonpertanian di sisi lainnya. Terkait dengan
proses pembangunan daerah, maka struktur ekonomi memiliki peran penting dalam
konsep pendekatan model pembangunan daerah. Sebagaimana yang dikemukakan Aziz
(1994), pendekatan sektoral dalam perencanaan pembangunan daerah selalu dimulai
dengan pertanyaan yang menyangkut sektor ekonomi apa yang perlu dikembangkan,
kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan di mana aktivitas sektor tersebut akan
dijalankan dan kebijakan (strategi dan langkah-langkah) apa yang perlu diambil
dalam mencapai tujuan pembangunan.
2.2.3 Teori Basis Ekonomi dan Sektor Ekonomi
Potensial
Salah
satu teori ekonomi yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan perekonomian
daerah adalah teori basis ekspor (atau teori basis ekonomi). Menurut Arsyad
(1999), teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi
suatu daerah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar
daerah. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk
tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan kekayaan daerah
dan menciptakan peluang kerja (job
creation). Daerah mempunyai kesempatan untuk mengembangkan sumber daya yang
dimiliki dengan memanfaatkan tenaga kerja yang ada termasuk dari luar daerah
dalam upaya meningkatkan peluang ekspor. Lebih lanjut dalam analisisnya, teori
basis ekonomi biasanya menggunakan data PDRB untuk mengidentifikasi dan
menentukan sektor potensial. Apabila sektor potensial tersebut dikembangkan
dengan baik akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan daerah secara
optimal.
Mengacu
pada teori ekonomi basis tersebut maka Arsyad (2008) menjelaskan bahwa teknik Location Quotient (LQ) dapat membagi
kegiatan ekonomi suatu daerah menjadi dua golongan yaitu:
1. kegiatan
sektor ekonomi yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah
yang bersangkutan. Sektor ekonomi seperti ini dinamakan sektor ekonomi
potensial (basis);
2. kegiatan
sektor ekonomi yang hanya dapat melayani pasar di daerah itu sendiri dinamakan
sektor ekonomi tidak potensial (non basis) atau local industry.
Menurut
Syafrizal (2002), dalam kerangkateori basis ekspor ini, diketahui bahwa
peningkatan ekspor terjadi apabila suatu daerah memiliki keuntungan kompetitif
(competitive advantage) yang cukup
besar pada beberapa sektor ekonomi. Dijelaskan pula bahwa dengan teori basis
ekspor ini, bahwa untuk melihat besarnya keuntungan kompetitif perekonomian
suatu daerah dapat dilakukan dengan penaksiran multiplierekspor dan analisis
shift share.
2.2.4. Keunggulan Komparatif dan Keunggulan
Kompetitif Wilayah
Pada
era otonomi daerah seperti sekarang ini, setiap daerah memiliki kebebasan dalam
menentukan arah dan kebijakan pembangunan ekonomi wilayah. Untuk menentukan
arah dan kebijakan pembangunan ekonomi di suatu daerah sangat diperlukan
informasi mengenai potensi ekonomi wilayah. Potensi ekonomi wilayah dapat
diketahui dengan mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan berbagai sektor
maupun subsektor ekonomi di wilayah tersebut. Sektor ekonomi yang memiliki
keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan
dapat mendorong sektor-sektor ekonomi lain untuk berkembang. Keunggulan
perekonomian wilayah tersebut secara garis besar terdiri atas keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif (daya saing). Istilah keunggulan
komparatif (comparative advantage)
mula-mula dikemukakan oleh Ricardo (1917) terkait dengan bahasan perdagangan
antar dua wilayah. Ricardo membuktikan bahwa bila dua wilayah yang saling
berdagang masing-masing mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang
memiliki keunggulan komparatif, maka kedua wilayah tersebut akan mendapatkan
keuntungan. Ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional
tetapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional. Pengetahuan
terhadap keunggulan komparatif suatu daerah dapat digunakan untuk mendorong
perubahan struktur ekonomi daerah ke arah sector yang mengandung keunggulan
komparatif. Jadi, apabila sektor yang memiliki keunggulan komparatif bagi suatu
daerah telah teridentifikasi maka pembangunan sektor tersebut dapat disegerakan
tanpa menunggu tekanan mekanisme pasar yang sering berjalan terlambat (Tarigan,
2003). Pada era perdagangan bebas seperti sekarang ini, keunggulan kompetitif
mendapat perhatian lebih besar daripada keunggulan komparatif. Keunggulan
kompetitif menunjukkan kemampuan daerah untuk memasarkan produknya ke luar
daerah. Dalam analisis ekonomi regional, keunggulan kompetitif dimaknai sebagai
kemampuan daya saing kegiatan ekonomi suatu daerah terhadap kegiatan ekonomi
yang sama di daerah lainnya. Keunggulan kompetitif merupakan cermin dari
keunggulan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah terhadap wilayah lainnya yang
dijadikan benchmarkdalam suatu kurun waktu. Dalam kaitannya dengan keunggulan
kompetitif, maka keunggulan komparatif suatu kegiatan ekonomi dapat dijadikan
suatu pertanda awal bahwa kegiatan ekonomi tersebut punya prospek untuk juga
memiliki keunggulan kompetitif. Jika suatu sektor memiliki keunggulan
komparatif karena besarnya potensi sektor tersebut maka kebijakan yang
diprioritaskanbagi pengembangan kegiatan ekonomi tersebut dapat berimplikasi
kepada terciptanya keunggulan kompetitif. Kegiatan ekonomi yang memiliki
keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif akan sangat menguntungkan
perekonomian suatu wilayah. Terkait dengan keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif, maka berdasarkan kegiatan ekonominya suatu wilayah dapat saja
memiliki kedua jenis keunggulan tersebut secara bersama-sama. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh satu atau gabungan beberapa factor berikut ini (Tarigan, 2003);
1. Memiliki
potensi sumber daya alam.
2. Penguasaan
masyarakat terhadap teknologi mutakhir dan keterampilan-keterampilan khusus
lainnya.
3. Aksesibilitas
wilayah yang baik.
4. Memiliki
marketyang baik atau dekat dengan market.
5. Wilayah
yang memiliki sentra-sentra produksi tertentu atau terdapatnya aglomerasi dari
berbagai kegiatan ekonomi.
6. Ketersediaan
buruh (tenaga kerja) yang cukup dan memiliki keterampilan baik dengan upah yang
relatif rendah.
7. Mentalitas
masyarakat yang baik untuk pembangunan: jujur, terbuka, bekerja keras, dapat
diajak bekerjasama dan disiplin.
8. Kebijaksanaan
pemerintah yang mendukung pada terciptanya keunggulan suatu kegiatan ekonomi
wilayah.
2.2.5. Spesialisasi Perekonomian
Perekonomian
suatu wilayah dikatakan terspesialisasi jika suatu wilayah memprioritaskan
pengembangan suatu sektor ekonomi melalui kebijakan yang mendukung kemajuan
sektor tersebut (Muzamil, 2001). Pengembangan sektor prioritas tersebut dapat
dilakukan melalui investasi dan peningkatan sumber daya manusia pada sektor
tersebut. Spesialisasi dalam perekonomian merupakan hal penting dalam rangka
memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dikatakan, jika suatu wilayah
memiliki spesialisasi pada sektor tertentu maka wilayah tersebut akan memiliki
keunggulan kompetitif dari spesialisasi sektor tersebut (Soepono, 1993).
Beberapa
ahli ekonomi mulai memperhitungkan efek spesialisasi terhadap perekonomian
suatu wilayah. Menurut Kuncoro (2002), salah satu upaya yang dapat ditempuh
untuk meningkatkan keterkaitan antar wilayah adalah melalui proses pertukaran
komoditas antar daerah. Hal ini dapat ditempuh melalui penciptaan spesialisasi
antar daerah.
Berbagai
macam alat analisis telah dikembangkan untuk melihat tingkat spesialisasi
regional. Marquillas dalam Soepono (1993) memodifikasi analisis shift
shareklasik dengan memasukkan efek alokasi untuk melihat spesialisasi suatu
sektor dalam suatu wilayah. Selanjutnya Kim dalam Kuncoro (2002) mengembangkan
indeks krugman untuk melihat spesialisasi regional di Amerika Serikat.
2.2.6. Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Gambaran
pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah merupakan analisis yang cukup
penting untuk melihatkondisi perekonomian suatu daerah. Dengan melihat pola dan
struktur pertumbuhan ekonomi dapat tergambar potensi relatif perekonomian suatu
daerah baik secara agregat maupun sektoral terhadap daerah lain di sekitarnya.
Untuk melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah, para ahli ekonomi
biasanya menggunakan analisis Klassen
Typology. Syafrizal (1997) mengemukakan bahwa analisis ini digunakan untuk
membagi serta membedakan suatu daerah menjadi empat klasifikasi yaitu:
1. Daerah
maju dan tumbuh cepat (rapid growth
region) apabila kabupaten/kota memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan
tingkat pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan per kapita Provinsi;
2. Daerah
maju tapi tertekan (retarded region)
apabila laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota lebih kecil dari pada laju
pertumbuhan ekonomi Provinsi akan tetapi pendapatan per kapita kabupaten/kota
lebih besar dari pendapatan per kapita Provinsi;
3. Daerah
berkembang cepat (growing region)
yaitu daerah yang berkembang dengan cepat apabila laju pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi
akan tetapi pendapatan per kapita kabupaten/kota lebih rendah dari pendapatan
per kapita Provinsi;
4. Daerah
relatif tertinggal (relatively backward
region) apabila kabupaten/kota memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapita lebih rendah dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan perkapita Provinsi.
Untuk
melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi sektoral dapat dilakukan melalui
pendekatan analisis tipologi Klassen seperti yang dilakukan oleh Apriliyanto
(2003), dengan membedakan suatu sektor ekonomi menjadi empat klasifikasi yaitu;
1.
Sektor potensial dan tumbuh cepat
apabila suatu sektor memiliki laju pertumbuhan dan kontribusi lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan dan kontribusi sektor yang sama pada tingkat Provinsi;
2.
Sektor maju tapi tertekan apabila laju
pertumbuhan suatu sektor lebih kecil dari pada laju pertumbuhan sektor yang
sama pada tingkat Provinsi akan tetapi kontribusinya di wilayah tersebut lebih
besar dari kontribusi sektor yang sama pada tingkat Provinsi;
3.
Sektor berkembang cepat yaitu sektor
yang berkembang dengan cepat apabila laju pertumbuhan sektor kabupaten/kota
lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor pada tingkat Provinsi
akan tetapi strukturnya pada tingkat kabupaten/kota lebih rendah dari struktur
sektor yang sama pada tingkat Provinsi;
4. Sektor relatif tertinggal apabila
kabupaten/kota memiliki sektor yang tingkat pertumbuhan dan kontribusinya lebih
rendah dari tingkat pertumbuhan dan kontribusi sektor yang sama pada tingkat Provinsi.
2.3. Kerangka Berpikir
Model
pembangunan ekonomi daerah dapat dilakukan dengan pendekatan sektoral.
Pembangunan ekonomi dengan pendekatan sektoral selalu dimulai dengan pertanyaan
sektor apa yang harus dikembangkan (Aziz, 1994). Dalam penelitian ini
sektor/subsektor yang harus dikembangkan
disebut sebagai sektor/subsektor potensial. Untuk mengidentifikasi
sektor/subsektor potensial di Kota Bima digunakan analisis data PDRB baik dari
sisi kontribusi maupun sisi pertumbuhan. Sektor ekonomi potensial tidak dapat
dilihat dari sisi pertumbuhan dan kontribusi saja.
Untuk
menentukan sektor potensial perlu diperhatikan keunggulan komparatif,
keunggulan kompetitif dan spesialisasi sektor tersebut terhadap sektor yang
sama pada tingkat Provinsi. Untuk melihat keunggulan komparatif suatu sektor
digunakan analisis Location Quotient (LQ), untuk melihat spesialisasi dan keunggulan
kompetitif digunakan analisis shift-share dan model rasio pertumbuhan
(MRP), sedangkan untuk melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi sektoral
digunakan modifikasi tipologi Klassen. Penggunaan tipologi Klassen ini untuk
mengklasifikasikan sektor/subsektor potensial yang merupakan gabungan keunggulan
komparatif, keunggulan kompetitif, spesialisasi berdasarkan struktur dan
pertumbuhan ekonomi Kota Bima terhadap Provinsi Nusa Tenggara Barat.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan
ruang lingkup lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Bima, dengan melihat
keterbandingannya dalam ruang lingkup Provinsi Nusa Tenggara Barat. Yang
menjadi objek penelitian adalah sektor dan subsektor ekonomi potensial. Sektor
dan subsektor ekonomi potensial tersebut merupakan kegiatan ekonomi yang
memiliki keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif dan spesialisasi di Kota
Bima.Disamping itu juga dikaji mengenai pola dan struktur pertumbuhan ekonomi Kota
Bima dibandingkan dengan kondisi seluruh Provinsi Nusa Tenggara Barat. Obyek
penelitian diamati selama lima tahun, yaitu dari tahun 2003 hingga tahun 2007.
Kurun waktu selama lima tahun ini dilandasi oleh tersedianya data hasil
perhitungan PDRB Kota Bima dan data PDRB Provinsi Nusa Tenggara Barat dari
tahun 2003 hingga tahun 2007.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi; data
PDRB Kota Bima (tahun 2003-2007), data PDRB Provinsi Nusa Tenggara Barat(tahun
2003-2007), baik atas dasar harga berlaku (ADHB) maupun atas dasar harga
konstan tahun 2000 (ADHK). Selain itu juga dikumpulkan data sekunder mengenai
karakteristik wilayah, seperti kondisi geografis dan potensi sumber daya di Kota
Bima. Seluruh data sekunder tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota
Bima, baik yang berasal dari publikasi Kota Bima dalam Angka (2003 dan 2007),
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bima (2003 dan 2007) maupun data hasil
kompilasi yang dikumpulkan dan dipublikasikan oleh BPS Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
3.3. Metode Analisis
Sesuai
dengan permasalahan dan tujuan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini maka
metode analisis dibagi menjadi dua bagian yaitu analisis sektor dan subsektor
ekonomi potensial untuk menjawab permasalahan pertama serta analisis pola dan
struktur pertumbuhan ekonomi regional untuk menjawab permasalahan kedua.
Disamping itu juga dianalisis berbagai indikator turunan dari PDRB seperti,
pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi dan pendapatan per kapita penduduk Kota
Bima. Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa PDRB yang digunakan dalam
penelitian ini adalah PDRB Kota Bima mengacu pada metode penghitungan PDRB
kabupaten/kota di Indonesia (BPS, 2003) maka metode yang digunakan dalam pemisahan
PDRB atas dasar harga berlaku Kota Bima terhadap PDRB atas dasar harga konstan Kota
Bima adalah dengan menggunakan metode tidak langsung atau metode alokasi (indirect method). Sedangkan untuk PDRB
atas dasar harga konstan digunakan teknik
indikator tunggal dengan metode ekstrapolasi (extrapolation method).
3.3.1 Analisis Sektor Ekonomi Potensial
Secara
garis besar, analisis sector dan subsektor ekonomi potensial dalam penelitian
ini dilakukan dengan mengidentifikasi sektor dan subsektor ekonomi potensial
dari sisi kontribusi PDRB (aspek keunggulan komparatif) melalui alat analisis Location Quotient (LQ) serta penentuan
sektor dan subsektor ekonomi potensial dari sisi pertumbuhan PDRB (aspek
keunggulan kompetitif) melalui alat analisis MRP dan analisis Shift-Share Estaban Marquillas (SS-EM).
Khusus mengenai identifikasi dan pengaruh spesialisasi perekonomian wilayah
akan dijelaskan melalui analisis Shift-Share
Estaban Marquillas.
Selanjutnya
setelah aspek keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan spesialisasi
teridentifikasi, maka dilakukan analisis overlay
yang bertujuan untuk melihat potensi sektor dan subsektor ekonomi di Kota Bima
berdasarkan gabungan dari ketiga alat analisis tersebut. Secara ringkas, metode
analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang dibahas pada ini
ditampilkan pada Tabel 3.1.
Table
3.1. Ringkasan Alat (Metode) dan Kegunaan Analisis Penelitian
|
Alat
Analisis
|
Tujuan/kegunaan
|
Data yang
Digunakan
|
1
|
Analisis Location
Quotient (LQ)
|
Menunjukkan besar kecilnya peranan dan mengidentifikasi
sektor/subsektor
ekonomi potensial (sektor basis), yang memiliki comparative advantage di suatu region.
|
Pengolahan data PDRB ADHB Kota Bima dan Prov. NTB
(kontribusi sektoral)
|
2
|
Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP)
|
Mengidentifikasi sektor/subsector ekonomi
potensial berdasarkan criteria pertumbuhan PDRB (competitive advantage)
|
Pengolahan data PDRB ADHK Kota Bima dan Prov.NTB
(rata-rata
pertumbuhan)
|
3
|
Analisis Shift-Share
Modifikasi Estaban-Marquillas
|
Mengidentifikasi competitive advantage dan mengetahui tingkat spesialisasi
perekonomian di suatu region
|
Pengolahan data PDRB ADHK Kota Bima dan Prov. NTB
(rata-rata
pertumbuhan)
|
4
|
Analisis Overlay
|
Kelanjutan dari analisis LQ dan MRP
bertujuan untuk memperoleh deskripsi ekonomi
potensial berdasarkan kriteria pertumbuhan (RPs dan RPr) dan kontribusi .
|
Pengolahan lanjutan
dari LQ, MRP dan
Shift-Share
|
5
|
Analisis Pola dan Struktur
Pertumbuhan Ekonomi
|
Mengetahui potensi relatif sektor/subsektor Kota
bima terhadap kabupaten/kota lain se Provinsi Sumatera Selatan dengan bantuan
analisis Klassen Typology.
|
Pengolahan lanjutan
dari LQ, MRP, Shift-Share
dan Overlay
|
a. Analisis Location Quotient (LQ)
Analisis
Location Quotient digunakan untuk
menunjukkan besar kecilnya peranan sektor perekonomian suatu region dengan
membandingkan sektor yang sama pada wilayah yang lebih besar. Metode ini
digunakan untuk mengidentifikasi sektor ekonomi potensial yang menjadi unggulan
yang dapat dikembangkan pada suatu wilayah dan dipergunakan untuk
mengidentifikasi keunggulan komparatif (comparative
advantage) suatu wilayah.
Penelitian
ini menggunakan metode yang mengacu pada formulasi yang dikemukakan oleh Arsyad (1999).
….…………….….………...…
(1)
Keterangan;
Yi,k
: Nilai tambah PDRB sektor i di Kota Bima
Yk : Total PDRB di Kota Bima
Yi,p
: Nilai tambah PDRB sektor i di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Yp : Total PDRB di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dari
hasil analisis Location Quotient (LQ) maka didapat kesimpulan:
1. Jika
nilai LQ > 1, berarti sektor tersebut merupakan sektor potensial, yang
menunjukkan suatu sektor mampu melayani pasar baik di dalam maupun di luar Kota
Bima;
2. Jika
nilai LQ < 1, berarti sektor tersebut bukan merupakan sektor potensial, yang
menunjukkan suatu sektor belum mampu melayani pasar di Kota Bima;
3. Jika
nilai LQ = 1, berarti suatu sektor hanya mampu melayani pasar di Kota Bima saja
atau belum dapat memasarkan hasil sektor tersebut ke luar daerah lain.
b. Analisis Model Rasio Pertumbuhan
(MRP)
Selain
alat analisis LQ yang digunakan untuk mengidentifikasi sektor dan subsektor
ekonomi potensial berdasarkan kriteria kontribusi PDRB, alat analisis lain
dirasakan penting dipergunakan untuk mengidentifikasi sektor dan subsektor
ekonomi potensial di Kota Bima. Hal ini mengacu kepada rekomendasi Yusuf
(1999), yang menganjurkan untuk menggunakan lebih dari satu alat analisis dalam
mengidentifikasi sektor ekonomi potensial di suatu wilayah. Oleh karena itu,
analisis MRP turut digunakan untuk menganalisis sektor dan subsektor ekonomi
potensial berdasarkan kriteria pertumbuhan PDRB Kota Bima.
MRP
adalah kegiatan membandingkan pertumbuhan suatu kegiatan baik dalam skala yang
lebih kecil maupun dalam skala yang lebih luas. Dalam analisis MRP terdapat dua
macam rasio pertumbuhan, yaitu:
1. Rasio
pertumbuhan wilayah studi (RPs) merupakan perbandingan antara pertumbuhan
pendapatan (PDRB) sektor i di Kota Bima dengan pertumbuhan pendapatan (PDRB)
sektor i di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
2. Rasio
pertumbuhan wilayah referensi (RPr) perbandingan rata-rata pertumbuhan
pendapatan (PDRB) sektor i di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan rata-rata
pertumbuhan pendapatan (PDRB) di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Analisis
MRP ini merupakan modifikasi dari komponen proportional
shift dan differential shift dalam
analisis shift-share (Yusuf, 1999).
Komponen proportional shift dan differential shift yang dalam analisis shift-share Estaban Marquillas disimbolkan dengan Mij dan
Cij ini memberikan nilai perubahan baik pengurangan maupun
penambahan PDRB. Dengan demikian, Mijdan Cij menunjukkan perubahan
nilai yang besar (bukan rasio). Melalui modifikasi maka akan didapat nilai yang
lebih besar, lebih kecil atau sama dengan 1 (rasio).
Formulasi
dari RPs dan RPr yang merupakan penurunan dari persamaan sebagai berikut
(Yusuf, 1999):
1.
Rasio
Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr):
.. (2)
….. (3)
……. (4)
………………………… (5)
Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi …….. (6)
2.
Rasio
Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs) :
.. (7)
… (8)
(9)
………………………… (10)
Rasio Pertumbuhan
Wilayah Referensi .. (11)
Dimana :
∆Eij
= Eij,t
- Eij……..………..…….……………..
(12)
∆Ein
= Ein,t
– Ein.……...……………….….….…
(13)
∆En
= En,t
– En
…………..…………...………… (14)
Keterangan:
∆Eij
: Perubahan PDRB sektor (subsektor) i
di Kota Bima
Eij,t
: PDRB sektor (subsektor) i di Kota
Bima pada tahun akhir analisis.
∆Ein : Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Ein,t
: PDRB sektor (subsektor) i di
Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun akhir analisis.
∆En
: Perubahan PDRB Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
En,t
: Total PDRB tahun akhir analisis di
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Mij
: Perubahan PDRB sektor
(subsektor) i di Kota Bima yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan sektor
(subsektor) i di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Cij :
Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di Kota Bima yang disebabkan oleh
keunggulan kompetitif sektor (subsector) tersebut di Kota Bima.
c.
Analisis
Shift-Share
Untuk mengkaji
kinerja berbagai sektor ekonomi yang berkembang di suatu daerah dan
membandingkannya dengan perekonomian regional maupun nasional digunakan teknik
analisis Shift-Share. Dengan teknik
ini, selain dapat mengamati penyimpangan dari berbagai perbandingan kinerja
perekonomian antar wilayah, maka keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu wilayah juga dapat diketahui melalui
tenik analisis Shift-Share ini.
Metode analisis Shift-Share diawali dengan mengukur
perubahan nilai tambah bruto atau PDRB suatu sektor-i di suatu region-j (Dij)
dengan formulasi (Soepono, 1993):
Dij=
Nij+ Mij+ Cij …………………….………..……... (15)
di mana:
Nij=
Eij. Rn
…..………………………………...…….. (16)
Mij=
Eij(rin- rn) ...……..……………………….……… (17)
Cij= Eij(rij– rin
) ….…..…………….…………..……… (18)
Dari persamaan (16) sampai (18), rij
mewakili pertumbuhan sektor/subsektor-i
di Kota Bima, sedangkan rn dan rin masing-masing laju
pertumbuhan agregat Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan pertumbuhan sektor/subsektor i Provinsi Nusa Tenggara Barat,
yang masing-masing dapat didefinisikan sebagai berikut:
rij= (Eij,t– Eij)/Eij …...…..…………………..………....…… (19)
rin = (Ein,t– Ein)/Ein
…………..…...………..………....…… (20)
rn= (En,t- En)/En………..…………..……..…………….…...
(21)
Keterangan;
Di,j
: Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di Kota
Bima
Ni,j
: Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di
Kota Bima yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
Mi,j : Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di Kota
Bima yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan
sektor (subsektor) i Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Ci,j : Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di Kota
Bima yang disebabkan oleh keunggulan kompetitifsektor (subsektor) tersebut di Kota
Bima.
Eij
: PDRB sektor i di Kota Bima tahun awal analisis
Ein : PDRB sektor i di Provinsi Nusa Tenggara
Barat tahun awal analisis
En : PDRB total di Provinsi Nusa Tenggara
Barat tahun awal analisis
Eij,t
: PDRB sektor i di Kota Bima tahun akhir
analisis
Ein,t : PDRB sektor i di Provinsi Nusa Tenggara
Barat tahun akhir analisis
En,t : PDRB total di Provinsi Nusa Tenggara Barat
tahun akhir analisis
Persamaan
(19) sampai (21) juga menunjukkan bahwa peningkatan nilai tambah suatu sektor
di Kota Bima (Dij) dapat diuraikan (decompose) menjadi 3 faktor berpengaruh,yaitu (Syafrizal, 2008):
1. Regional Share
(Nij) adalah komponen pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan
oleh faktor luar yaitu; peningkatan kegiatan ekonomi daerah akibat
kebijaksanaan nasionalatau provinsi yang berlaku pada seluruh daerah.
2. Proportional Shift
(Mij)adalah komponen pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan oleh
struktur ekonomi daerah yang baik, yaitu berspesialisasi pada sektor yang
pertumbuhannya cepat secara nasional atau provinsi.
3. Differential Shift
(Cij)adalah komponen pertumbuhan ekonomi daerah karena kondisi
spesifik daerah yang bersifat kompetitif. Unsur pertumbuhan ini merupakan
keuntungan kompetitif daerah yang dapat mendorong pertumbuhan ekspor daerah.
Melalui
ketiga komponen tersebut dapat diketahui komponen atau unsur pertumbuhan mana
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Nilai masing-masing komponen
dapat saja negatif atau positif, tetapi jumlah keseluruhan akan selalu positif,
bila pertumbuhan ekonomi juga positif dan begitu pula sebaliknya. Berdasarkan
persamaan (2) sampai (8) di atas, maka untuk suatu wilayah, pertumbuhan
nasional atauregional, bauran industri (industrial
mix)dan keunggulan kompetitif dapat ditentukan bagi satu sektor-i atau
dijumlahkan untuk semua sektor sebagai keseluruhan wilayah. Persamaan Shift-Share untuk sektor-i di wilayah-j
adalah:
Selanjutnya
menurut Oppenheim dalam Yusuf (1999),
analisis pertumbuhan ekonomi regional komponen proportional shift (PS) dan Differential Shift (DS) lebih penting
dibanding komponen regional share.
Hal ini karena DS digunakan untuk melihat perubahan pertumbuhan dari suatu
kegiatan di wilayah studi terhadap kegiatan tersebut di wilayah referensi. Dari
perubahan tersebut dapat dilihat berapa besar pertambahan atau pengurangan
pendapatan dari kegiatan tersebut. Sedangkan PS untuk melihat perubahan
pertumbuhan suatu kegiatan di wilayah referensi terhadap kegiatan total (PDRB)
di wilayah referensi.
Dari
kedua komponen ini jika besaran PS dan DS dinyatakan dalam suatu bidang datar,
dengan nilai PS sebagai sumbu horisontal dan nilai DS sebagai sumbu vertikal,
akan diperoleh empat kategori posisi relatif dari seluruh daerah atau sektor
ekonomi tersebut. Keempat kategori yang dimaksud adalah sebagai berikut :
·
Kategori I (PS positif dan DS positif)
adalah wilayah/sektor dengan pertumbuhan sangat pesat (rapid growth region).
·
Kategori II (PS negatif dan DS positif)
adalah wilayah/sektor dengan kecepatan pertumbuhan terhambat tapi berkembang (depressed region yang berkembang).
·
Kategori III (PS positif dan DS negatif)
adalah wilayah/sektor dengan kecepatan pertumbuhan terhambat namun cenderung
berpotensi (depressed region yang
berpotensi).
·
Kategori IV (PS negatif dan DS negatif)
adalah wilayah/sektor depressed region
dengan daya saing lemah dan juga peranan terhadap wilayah rendah.
Selanjutnya
untuk mengetahui tingkat spesialisasiperekonomian di suatu daerah dapat
dilakukan dengan modifikasi analisis shift-share
ini. Estaban Marguillas pada tahun 1972 telah melakukan modifikasi terhadap
teknik analisis Shift-Share untuk
memecahkan masalah pengaruh efek alokasi dan spesialisasi (Soepono, 1993).
Dengan mengacu kepada persamaan di atas, maka modifikasi persamaan Shift-Share menurut Estaban Marguillas mengandung
unsur baru yang diberi notasi E*ij didefinisikan sebagai suatu
variabel wilayah (Eij), bila struktur wilayah sama dengan struktur
nasional atau Eij=E*ij maka E*ij dirumuskan
menjadi:
E*ij = Ej(Ein/En)
……………....…………………………………. (23)
Apabila Eij
diganti dengan E*ij maka persamaan Cij= Eij(rij–
rin) dapat pula diganti menjadi:
C*ij= E*ij(rij–
rin) ………………….……...……………………… (24)
Cij adalah
untuk mengukur keunggulan atau ketidakunggulan kompetitif di sektor-i pada
perekonomian suatu wilayah menurut analisis Shift-shareklasik. Pengaruh efek
alokasi (allocation effect)belum
dijelaskan dari suatu variabel wilayah untuk sektor-i di wilayah j (Aij),
untuk mengetahui efek alokasi tersebut didekati dengan menggunakan rumus
(Soepono, 1993):
Aij= (Eij–
E*ij) (rij– rin) ……….…………….……………………. (25)
dimana:
(Eij–E*ij)
: menggambarkan tingkat spesialisasi sektor i di Kota Bima, jika rij
> rin (rij– rin) : menggambarkan tingkat
keunggulan kompetitif sektor i di Kota Bima.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Aij sebagai pengaruh alokasi
dapat dilihat dalam dua bagian yaitu tingkat spesialisasi sektor i di wilayah j
(Eij–E*ij) yang dikalikan dengan keunggulan kompetitif (rij–
rin). Persamaan tersebut dapat bermakna bahwa bila suatu wilayah
mempunyai suatu spesialisasi di sector tertentu, maka sektor tersebut pasti
akan menikmati pula keunggulan kompetitif yang lebih baik.
Kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi dari efek alokasi akan dijelaskan pada Tabel 3.2. Dari hasil
modifikasi Estaban-Marquillas terhadap analisis Shift-Share dapat dirumuskan sebagai berikut (Soepono, 1993):
Dij = Eij(rn)+Eij(rin–
rn)+E*ij(rij– rin)+(Eij–E*ij)
(rij– rin) ………...… (26)
Tabel 3.2. Kemungkinan
hasil penghitungan dari Efek Alokasi
d.
Analisis Overlay
Setelah
melakukan analisis LQ dan MRP, analisis dilanjutkan dengan menggunakan analisis
Overlay yang bertujuan untuk
memperoleh deskripsi kegiatan ekonomi potensial dalam suatu wilayah yang
didasarkan atas kriteria pertumbuhan
(hasil analisis wilayah studi atau RPs) dan kriteria kontribusi (hasil analisis
LQ). Menurut Yusuf (1999) terdapat empat kemungkinan dalam analisis ini yaitu
kombinasi antara sektor/subsektor ekonomi potensial yang menggambarkan keadaan
suatu daerah sebagai berikut:
1. Pertumbuhan
(+) dan kontribusi (+) menunjukkan suatu sektor (subsektor) yang sangat dominan
baik dari pertumbuhan maupun dari kontribusinya.
2. Pertumbuhan
(+) dan kontribusi (-) menunjukkan suatu sektor (subsektor) yang pertumbuhannya
dominan tetapi kontribusinya kecil.
3. Pertumbuhan
(-) dan kontribusi (+) menunjukkan suatu sektor (subsektor) yang pertumbuhannya
kecil tetapi kontribusinya besar.
4. Pertumbuhan
(-) dan kontribusi (-) menunjukkan suatu sektor (subsektor) yang tidak
potensial baik kriteria pertumbuhan maupun konstribusinya.
Namun
analisis Overlay tersebut belum
mengakomodasi hasil analisis SS-EM yang merepresentasikan keunggulan kompetitif
dan spesialisasi perekonomian suatu wilayah. Sebagaimana yang pernah dilakukan
Saimima (2003), analisis Overlay digunakan dengan pertimbangan
memasukkan hasil analisis SS-EM, sehingga akan diperoleh deskripsi kegiatan
ekonomi potensial suatu wilayah berdasarkan rasio pertumbuhan wilayah studi,
keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif serta spesialisasi.
3.3.2
Analisis Pola dan Struktur Pertumbuhan
Ekonomi Regional
Gambaran tentang
pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di Kota Bima dapat diketahui dengan
mengggunakan analisis Klassen Typology.
Dengan melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi akan terlihat potensi
relatif perekonomian di Kota Bima terhadap kabupaten/kota lainnya di Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Sjafrizal(1997) mengemukakan bahwa analisis ini digunakan untuk
membedakan suatu daerah menjadi empat klasifikasi yaitu daerah maju dan cepat
tumbuh (rapid growth region), daerah
berkembang (growing region), daerah
maju tapi tertekan (retarded region)
dan daerah relatif tertinggal (relatively
backward region). Keempat klasifikasi ini ditentukan berdasarkan laju
pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan perkapita suatu wilayah. Pengklasifikasian
suatu wilayah berdasarkan Klassen Typology dapat dilihat pada Tabel
3.3.
Tabel 3.3. Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Menurut Klassen Typology
Sumber : Sjafrizal
(1997)
Keterangan;
ri : Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bima
r :
Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat
yi : Income per kapita Kota Bima
y :
Income per kapita Provinsi Nusa Tenggara Barat
Kemudian untuk melihat
pola dan struktur pertumbuhan berdasarkan sektor dan subsektor ekonomi di Kota
Bima dilakukan melalui pendekatan modifikasi analisis Klassen Typology. Analisis ini dilakukan dengan melihat pertumbuhan
dan kontribusi masing-masing sektor dan subsektor ekonomi di Kota Bima dengan
dibandingkan terhadap pertumbuhan dan kontribusi sektor maupun subsektor
ekonomi yang sama pada tingkat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penggunaan dan
interprestasi alat analisis ini dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel
3.4. Klasifikasi Pertumbuhan Sektor (Subsektor) Ekonomi Menurut Klassen Typology
Sumber : Sjafrizal
(1997)
Keterangan :
ri : Rata-rata laju pertumbuhan PDRB sektoral Kota Bima
r :
Rata-rata laju pertumbuhan PDRB sektoral Provinsi Nusa Tenggara Barat
pi : Rata-rata kontribusi PDRB sektoral Kota Bima
p :
Rata-rata kontribusi PDRB sektoral Provinsi Nusa Tenggara Barat
boleh saya tau sumber jurnal dari penelitian ini?
BalasHapusuntuk metode penelitiannya kurang jelas..
BalasHapusrumus yang digunakan tidak muncul..
boleh diperjelas lagi..?